Lihat ke Halaman Asli

Sastra Sebagai Gerakan Literasi Progresif

Diperbarui: 4 Januari 2019   10:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam survei yang tersebar diberbagai media yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) mulai dari tahun 2012 dan yang terakhir tahun 2015 menempatkan Indonesia sebagai urutan ke-64 dari 72 negara dalam budaya literasinya. Lima besar ditempati oleh Singapura, Jepang, Estonia, Taiwan, dan Finlandia. Sedangkan riset UNESCO pada tahun 2012 mengatakan bahwa indeks minat baca masyarakat kita baru mencapai 0,001. Artinya, dari 1000 penduduk hanya satu orang yang memiliki minat baca.

Apakah kondisi ini menandakan bahwa masyarakat kita belum melek baca atau bahan bacaan di masyarakat khususnya di dunia pendidikan kita itu minim? Atau ada strategi yang salah dalam membudayakan literasi yang kita lakukan terutama di dunia pendidikan kita?

Ketiga pertanyaan itu memiliki korelasi satu dengan yang lainnya. Bagaimana mungkin suatu masyarakat bisa melek baca jika bahan bacaan tidak ada atau memadai. Sekalipun memiliki bahan bacaan yang banyak, belum tentu membuat minat baca masyarakat tumbuh jika strategi dalam menumbuhkan kesadaran minat baca tidak ada atau salah. Kesalahan startegi ini dapat dilihat dari program yang dilakukan oleh Taufik Ismail sebelum muncul survei PISA dan UNESCO. 

Program Taufik Ismail yang dianggapnya sebagai hasil riset pribadinya tentang minat baca masyarakat Indonesia yaitu MMAS (Membaca, Menulis, Apresiasi Sastra) untuk guru dan dua program yang disponsori Ford Foundation (FF) yaitu SBMM (Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca) dan SBSB (Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya). Kedua program yang disponsori FF selama tahun 2000-2002 ini justru tak menunjukkan peningkatan minat baca masyarakat.

Menurut Faruk dalam makalahnya Peranan Sastra dalam Membentuk Budaya Literasi (2016) bahwa kesalahan startegi itu dimungkinkan karena tidak adanya landasan teoritik yang kuat mengenai keberaksaraan atau budaya aksara itu sendiri. Dua program andalan itu bukannya menguji daya baca siswa dan mendatangkan banyak buku ke sekolah, justru mendatangkan sastrawan untuk tidak menulis, melainkan berbicara, dan meminta siswa bertanya, bukan membaca. 

Bagi Faruk, program ini justru bukan mengajak atau membentuk tradisi membaca, melainkan tradisi kelisanan. Bukan membentuk budaya tulis, tetapi membentuk budaya lisan. Dampak dari strategi ini justru menghasilkan figur otoritatif dan menjauhkan masyarakat dari teks itu sendiri. Orang yang berbicara (sastrawan) menggantikan teks sastranya dalam menentukan kebenaran teks sastra yang ditulisnya.

Strategi yang salah dengan menumbuhkan budaya lisan dibanding budaya tulis dan baca, malah dapat memberi dampak dalam fungsinya bahan bacaan. Sekalipun program penerbitan buku sebagai bahan bacaan dan dibagi-bagi secara gratis ke setiap perpustakaan, tidak serta-merta akan menumbuhkan minat baca masyarakatnya. Sebab, bagi masyarakat dengan budaya lisan, bahan bacaan (teks) hanya akan menjadi azimat atau rajah. Buku-buku hanya akan menjadi artefak yang berdebu (kalau tidak dimakan rayap) yang mengisi rak-rak perpustakaan.

Tahun 2016, Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud membuat program penulisan buku bahan bacaan untuk tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas. Ada 170 buku yang dicetak dengan isi mengambil cerita rakyat seluruh Nusantara (penulis juga termasuk dalam penulisan buku tersebut). Tahun 2017 dan 2018 ini melalui Badan Bahasa dan Balai/Kantor Bahasa mengadakan sayembara penulisan buku bahan bacaan. Badan Bahasa sendiri akan memberikan sekitar 190 buku yang terpilih untuk kemudian diterbitkan. 

Belum lagi pemenang yang ada disetiap Balai/Kantor Bahasa diseluruh Nusantara. Ini mengartikan bahwa strategi pemerintah dalam menerapkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) adalah dengan menyediakan sebanyak-banyaknya bahan bacaan untuk dunia pendidikan kita. Kemendikbud pun melalui program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) menerapkan siswa untuk membaca selama lima belas menit sebelum pelajaran dimulai (Permendikbud No.23 tahun 2015). Apakah strategi ini berhasil? Jelas belum bisa diukur. Namun, jika seluruh gerakan tersebut hanya sebatas pemberian bahan bacaan dan mengembangkan tradisi membaca buku (teks), bukan pada tradisi menulisnya, maka kita salah kaprah dalam memahami literasi. Gerakan literasi hanya menjadi tindakan kedua (membaca).

Tidak ada yang salah dari program tersebut. Kebutuhan akan bahan-bahan bacaan memang diperlukan. Hanya saja, program itu kurang progresif. Lalu, di mana problemnya? Problemnya adalah ketidakpahaman akan esensi literasi. Titik anjaknya adalah kemelekaksaraan. Kemelekaksaraan ditandai dengan perubahan masyarakat lisan ke masyarakat tulisan. Masyarakat dengan tradisi menulis.

Hal ini menandakan bahwa tindakan pertama dari gerakan literasi adalah menulis, bukan membaca. Membaca adalah tindakan kedua. Orang yang sering menulis, pasti gemar membaca. Orang yang sering membaca, belum tentu gemar menulis. Artinya, jika ingin tradisi literasi masyarakat kita meningkat, program menulis adalah hal yang mesti diutamakan, karena jika minat menulis tinggi, maka minat baca juga akan ikut tinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline