Kesenjangan ekonomi yang berupa perbedaan distribusi pendapatan dan tingkat kemisikinan adalah dua masalah besar yang sekiranya telah menjadi acuan khusus bagi negara berkembang untuk membereskannya, tidak terkecuali Indonesia. Besar berarti, hal ini seperti sengaja dibiarkan dan semakin parah tanpa ada proses tindak lanjut sehingga menyebabkan konsekuensi politik dan sosial. Kepercayaan rakyat menghilang pada pemerintah, kewaspadaan pemerintah akan tiba-tiba jatuh karena amukan rakyat miskin (yang tidak tahan lagi terhadap kemiskinannya) seakan menjadi terror sempurna. Bahkan tragedi Mei 98 menjadi suatu hipotesis tersendiri hingga sekarang, andaikan masyarakat sejahtera ketika itu, mungkinkah mahasiswa bersatu berdemonstrasi seingga menjatuhkan rezim Soeharto pada Mei 98.
Sentralisasi pembangunan ekonomi yang akhirnya menghasilkan efek-efek "tetesan kebawah" dinilai akan berdampak positif dan dapat dipercaya. Orientasinya jelas pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Maka, pusat pembangunan ekonomi nasional (dimulai) di pulau Jawa dengan alasan mungkin semua fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan, seperti pelabuhan, jalan raya, kereta api, telekomunikasi, dan gedung-gedung industri, serta infrastruktur lainnya lebih tersedia di pulau Jawa. Yang salah, mereka percaya bahwa nantinya hasil pembangunan ini akan "menetes" ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya.
Namun, fakta dan sejarah menunjukan bahwa setelah 40 tahun sejak Pelita I tahun 1969, efek menetes tersebut sama sekali tidak ada, karena proses mengalir kebawahnya sangat lambat. Krisis ekonomi. Indonesia memang menikmati laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun tinggi, tetapi tingkat kesenjangan dalam pendapatan juga semakin besar dan jumlah orang miskin tetap banyak, bahkan meningkat tajam sejak krisis.
Mengapa pemerintah pada saat itu tidak menyadari buruknya kualitas pembangunan yang dihasilkan dengan strategi tersebut? Perubahan hanyalah semu. Dengan bijak, peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan utama daripada pembangunan, tapi tetap saja kemiskinan dan gap dalam distribusi pendapatan di tanah air membesar, bahkan semakin buruk.
Untuk itu, kita sudah seharusnya kapok terhadap rencana-rencana pembangunan yang semakin merajalela, karena memang kesejahteraan tak kunjung terlaksana, imbasnya tidak ada. Yang menikmati hanyalah masyarakat kelas atas dan menengah. Perhatikan pembangunan industri-industri padat karya, pembangunan pedesaan, dan modernisasi sektor pertanian. Mungkin, hal itu dapat mengurangi jumlah orang miskin dan kesenjangan pendapatan antara kelompok miskin dan kelompok kaya dengan pengembangan industri kecil dan rumah tangga (khususnya di perdesaan), transmigrasi, pelatihan/pendidikan dan lain-lain., kecuali krisis ekonomi yang tiba-tiba muncul atau diawali dengan krisis nilai tukar rupiah yang kaitannya dengan dunia.
Tidak seharusnya, pembangunan sentral menjadi tujuan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H