Lihat ke Halaman Asli

Maulid Nabi: Antara Ritual dan Seremonial

Diperbarui: 23 Desember 2015   21:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Tepat pada tanggal 12 Rabiul Awal, sebagian besar umat muslim di Indonesia merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk mengingat jasa-jasa panutannya, kaum muslimin dengan kreatif mengadakan seremoni meriah yang diisi dengan ritual-ritual seperti membaca shalawat, membaca ayat-ayat suci al-Qur’an, dan mendengarkan ceramah hikmah bermuatan sirah nabawiyah. Di pesantren-pesantren, peringatan maulid Nabi disambut dengan gegap gempita. Kalau di pesantren saya, sejak tanggal 1 Rabiul Awal kumandang shalawat lebih intens daripada biasanya. Beragam puja-puji kepada sang Rasul Ilahi dibaca mulai ba’da subuh, waktu dluha, setelah maghrib, dan usai isya’. Belum lagi, perlombaan-perlombaan di kalangan santri diselenggarakan untuk menyambut peringatan milad manusia penghulu mayapada ini.

Herannya, setiap momen maulid dirayakan selalu saja diiringi oleh perdebatan-perdebatan. Perdebatannya melulu soal boleh tidaknya maulid Nabi dirayakan. Tengok saja facebook atau media-media sosial yang lain. Tatkala masuk ke bulan Rabiul Awal, dalil-dalil perayaan maulid Nabi pasti bertebaran, baik dari pihak yang pro maupun kontra. Perang meme-meme pun tak dapat dihindari. Bahkan, beberapa waktu lalu di daerah Bantul Yogyakarta, ada seseorang yang kontra perayaan maulid mencoba untuk membubarkan acara yang sedang berlangsung sambil berserapah bahwa maulid itu bid’ah yang tidak pernah dianjurkan oleh Rasulullah dan merayakannya adalah perbuatan syirik. Kontan para jamaah yang hadir di situ geram dibuatnya. Saya sendiri yang hanya melihat lewat video pun agak kebakaran jenggot.

Saya pribadi malas berkomentar mengenai kontroversi perayaan maulid Nabi. Sebab, bagi saya terdapat banyak kebaikan yang dapat dilakukan dalam perayaan tersebut. Jadi, merayakan maulid Nabi adalah kebaikan meskipun Rasulullah tidak pernah meneladankan. Akan tetapi, jika harus berkomentar terutama soal dalil yang digunakan untuk membid’ahkan perayaan maulid Nabi, tulisan ini semoga dapat memberi cukup jawaban.

Dalil yang dijadikan dasar utama adalah hadits berikut:

مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ , وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ , إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ , وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ , وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا , وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ , وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ , وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

“Siapapun yang Allah beri petunjuk,tidak akan ada seorangpun yang menyesatkannya. Siapapun yang Allah ‘sesatkan’, tidak akan ada seorang yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru, dan segala yang baru adalah bid’ah, dan segala yang bid’ah adalah sesat. Yang sesat, pasti dalam neraka.”

Kata kunci penting dari hadits di atas adalah term bid’ah. Menurut kelompok anti maulid, merayakan maulid Nabi adalah hal baru karena tidak dianjurkan oleh Nabi dan oleh karenanya disebut bid’ah. Merayakan maulid Nabi adalah kesesatan karena segala yang bid’ah adalah kesesatan yang dapat menjerumuskan ke neraka. Jadi, jangan muludan, nanti masuk neraka. Begitu kurang lebih argumentasi dari kelompok anti maulid ini.

Argumentasi tersebut, selain mengabaikan konteks ruang dan waktu hadits tersebut diucapkan juga melalaikan nalar pemahaman kebahasaan. Memang hadits di atas mengungkapkan bahwa segala hal yang baru adalah bid’ah dan segala yang bid’ah adalah kesesatan. Namun, apakah benar seluruh hal baru adalah kesesatan? Di sinilah pentingnya membaca dan memahami nash-nash agama dengan mengaitkannya satu sama lain. Pemahaman atomistik yang memisahkan antara nash yang satu dengan yang lain cenderung menghasilkan kesimpulan ajaran agama abal-abal.

Bid’ah sesat yang dimaksud dalam hadits di atas adalah membuat-buat hal-hal baru dalam persoalan ibadah/ritual. Siapapun tidak boleh membuat-buat ibadah yang tidak ada petunjuknya dari al-Qur’an maupun Hadits, misalnya menambah rakaat shalat yang bilangannya sudah paten. Membuat-membuat hal baru semacam itulah yang sesat. Sementara itu, hal-hal baru di luar persoalan ritual tidak termasuk dalam ‘segala bid’ah adalah sesat’ dalam hadits di atas. Itu artinya, redaksi umum/segala (‘amm) pada hadits di atas tidak berlaku secara umum. Hadits tersebut hanya tertentu pada persoalan membuat-buat hal baru dalam soal ibadah. Pemahaman ini didukung oleh hadits berikut:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدٌّ

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline