Dunia mungkin mengenal George Orwell (Eric Arthur Blair, 1903-1950) sebagai seorang sastrawan besar berkat novel alegoris politiknya Animal Farm dan 1984. Buku yang disebut pertama terlampau masyhur hingga direkomendasikan untuk dibaca sebelum kita meninggal dunia.
Lalu, novelnya 1984 merupakan sebuah 'satire tajam, menyajikan gambaran tentang luluhnya kehidupan masyarakat totalitarian masa depan yang di dalamnya setiap gerak warga dipelajari.'
Sekarang, pada abad 21 ini, adalah sesuatu tidak mencengangkan lagi bila negara punya kemampuan menyadap kehidupan privasi seseorang dengan teknologi tingkat tinggi. Tapi, Orwell jauh hari sudah memprediksinya di dalam novel 1984, terbit pada Juni 1949, era di mana alat bernama teleskrin, polisi pikiran dan mikorofon tersembunyi, seperti digambarkan dalam 1984, adalah sesuatu yang tidak diprediksi orang banyak.
Akan tetapi, reputasi Orwell dalam jajaran dedengkot penulis besar dunia, tidak turun dari langit berbintang dan mendarat di padang rumput hijau yang indah permai. Sebaliknya. Riwayat hidup George Orwell adalah riwayat orang-orang kalah yang mencoba bangkit dengan potensi yang dimiliki dan segenggam kepercayaan akan keberuntungan. Sisi lain kehidupannya ini dia lukiskan dengan indah di dalam buku down and out in Paris and London (terpuruk dan melarat di Paris dan London).
Di dua kota metropolitan ini, Orwell pernah hidup melarat. Di Paris, sebagai tukang cuci piring. Di London, sebagai pengemis. Ada yang menyebutkan, saat berada di Paris, Orwell tinggal hanya beberapa blok saja dari apartemen Ernest Hemingway, raksasa sastra berkebangsaan Amerika. Tapi keduanya beda nasib. Penulis The Sun Also Rises itu pindah ke Paris pada tahun 1921 bersama istri pertamanya, Hadley.
Tahun 1923, dua pasangan muda ini pindah ke Toronto saat Hadley melahirkan anak pertama Ernest. Kemudian kembali lagi ke Paris bersama si bayi pada Januari 1924. Di tahun 1927, Setelah bercerai dengan Hadley karena kedapatan selingkuh, Ernest menikah lagi dengan Pauline Pfeiffer, selingkuhannya, dan meninggalkan Paris tahun berikutnya.
Lalu, ada yang dilakukan Orwell pada periode itu?
Dia tinggal di Hotel des Trois Moineaux. Jangan salah dulu. Hotel yang dia maksud tidak seperti yang bisa dibayangkan sekarang. Di dalam buku semi autobiografinya itu, dia menulis dengan polos;
Hotel ini bangunan reyot lima lantai yang disekat-sekat menjadi empat puluh kamar dengan dinding kayu. Kamar-kamarnya sempit, pengap, dan selalu kotor, karena di situ tidak ada pelayan pembersih kamar. Madame F, pemiliknya, tak punya waktu untuk menyapu kamar-kamarnya. Dinding-dinding kamar itu setipis kayu korek api, dan untuk menutupi celah-celahnya ditempelkan berlapis-lapis kertas merah muda, yang kemudian terkelupas dan menjadi sarang kutu busuk yang tak terhitung banyaknya
Kita kemudian tahu Orwell tidak pernah meratapi kemelaratannya. Tulisannya dalam buku ini menjadi istimewa karena interaksi dia dengan orang-orang sekitar yang senasib. Orwell secara mendetail menggambarkan kondisi yang dilihat dan dirasakan sebagai masyarakat kelas bawah yang terpuruk.
Suatu hari di musim panas kudapati uangku tinggal 450 franc. Di luar itu tidak ada lagi, kecuali 36 franc per minggu, upah yang kuperoleh dari memberikan les Bahasa Inggris. Sampai saat ini aku belum memikirkan masa depan. Tetapi, kini aku menyadari, aku harus segera melakukan sesuatu.