Setiap tahun, orang merayakan malam akhir tahun. Pada malam itu, yakni malam 31 Desember, kembang api diletuskan di udara, petasan diledakan di darat dan terompet-terompet ditiupkan. Orang-orang merayakan keberhasilan di sepanjang tahun, mensyukurinya dan menjadikan semua kegagalan sebagai momen untuk melangkah maju ke depan, di tahun mendatang, sejak tanggal 1 Januari.
Ini semua tentang waktu. Apa itu waktu sehingga kita harus merayakannya, mensyukurinya dan menjadikannya momen refleksi. Inilah pertanyaan mendasarnya. Pernahkah membayangkan kalau waktu itu hanya ilusi, sesuatu yang tidak ada dan kemudian dibuat menjadi ada? Andai saja tak ada waktu, apakah kita masih merayakan malam Tahun Baru?
Saya bercakap-cakap dengan Santo Agustinus tentang apa itu waktu.
Penjelasannya menarik dan sedikit menyingkap tirai yang menyelubungi hati dan pikiran.
Saya (selanjutnya disingkat S): Gereja Katolik---entah itu gereja Timur atau Gereja Barat---berutang banyak terhadap Anda. Ajaran-ajaran Anda yang banyak sekali Anda tulis ke dalam berbagai jenis buku, sekarang menjadi pedoman ajaran katolik, dan bahkan menjadi dogma gereja. Itu artinya sudah bertahan selama ribuan tahun, bukan? Dua buku yang saya bisa ingat, Confessiones dan De civitate Dei. Itu mahakarya anda yang luar biasa! Apa tanggapan Anda soal itu?
Agustinus (selanjutnya disingkat A): Terima kasih, nak. Sebelumnya,tolong jangan menyapa saya dengan 'anda'. Mungkin sebut saja 'saudara'. Saya pikir itu lebih baik. Bukan begitu, saudaraku?!
S: Baiklah saudaraku (sambil tersipu malu menggarukan kepala).
A: Ya, saya punya masa lalu yang suram sebelum saya benar-benar menjadi seorang Kristen yang taat. Bahkan sebelum saya menjadi Uskup di Hippo, Afrika Utara. Saudara tahu itu pastinya. Sudah banyak sekali orang berbicara tentang pertobatan saya ke jalan Tuhan. Saya menulis kisah pertobatan itu dalam buku saya Confessiones. Untuk itu saya berterima kasih kepada ibu saya, Monica. Dia ibu yang luar biasa.
S: Saya juga kagum terhadapnya. Dia seorang perempuan yang saleh dan sangat dekat dengan Tuhan.
A: Dialah yang dengan sabar menuntun saya kepada Kristus. Selain karena saya juga kagum dan terpesona dengan kotbah Uskup Ambrosius di Milan. Jadi, masa lalu saya yang penuh dengan gejolak dan pertentangan-pertentangan teologis di masa itulah, Roh Kudus akhirnya memilih saya untuk menulis semua buku itu.
S: Baiklah saudaraku. Saya sepertinya tidak punya banyak waktu. Saya langsung ke inti pembahasan saja. Anda menulis sebuah refleksi yang bagus sekali tentang 'waktu' dalam buku Confessiones khususnya dalam buku XI.