Untuk pertama kalinya Raimundus berhadapan langsung dengan satu masalah lingkungan. Dia menulis soal masalah itu, dan kemudian muncul banyak tafsiran dari banyak orang terkait masalah itu.
Padahal untuk Raimundus, kelestarian lingkungan itu sudah final. Tidak perlu lagi ada banyak dalih yang bisa membenarkan semua tindakan merusak, apalagi atas nama pembangunan pariwisata. Sekarang Raimundus hanya ingin mengetahui isi kepala orang-orang yang berdalih tersebut.
Jadi ceritanya begini. Pada satu hari Sabtu, Raimundus pergi berwisata ke Pantai Mingar yang berada di Desa Pasir Putih, Kecamatan Nagawutung, Kabupaten Lembata. Pantai Mingar sudah terkenal sejak lama. Pasirnya putih bersih, luas dan memanjang jauh di sepanjang kampung.
Lautannya bersih dan berombak khas laut selatan. Pesona Mingar memang bukan soal laut saja. Tradisi dan kebudayaan masyarakat juga masih terwariskan di sana. Salah satunya yang masih jadi ritual tahunan ialah Guti Nale, perayaan orang Mingar menangkap cacing laut atau nale yang muncul setahun sekali pada musim-musim tertentu.
Raimundus sadar betul semua kekayaan alam dan budaya orang Mingar. Lalu pada hari itu ketika dia sampai di sana, kawasan Pantai Mingar sudah berubah sekejap. Dulu, dia masih mendapati pohon-pohon rindang menutupi pesisir Pantai Mingar. Lalu, ada banyak rumpun tanaman pandan (pandanus tectorius) yang menutupi bagian-bagian pasir putih di sana.
Pohon rindang itu sekarang sudah digusur sampai ke akar-akarnya. Parahnya lagi, tanaman pandan yang justru salah satu fungsinya mencegah abrasi pantai, juga digusur habis. Raimandus melihat beberapa orang dari pemerintah dan warga sedang mengubah lokasi pandan itu menjadi sepetak lapangan voli berpasir pantai.
"Gila, pandan digusur habis hanya untuk lapangan voli di pinggir pantai," serunya membatin sambil tersenyum geli. Keributan pun mulai terjadi sejak Raimundus mempublikasikan penggusuran ini di media lokal. Saat itu, ada seorang putra Mingar yang juga adalah anggota legislatif memprotes langsung aksi penggusuran langsung di lokasi pantai.
Dia berdebat dengan kepala desa hingga menitihkan air mata. Tangisan dia, bagi Raimundus, adalah tangisan seorang putra asli Mingar yang punya ikatan emosional dengan rumpun-rumpun pandan dan pohon yang digusur habis itu. Sayang, masih ada juga orang yang menyebut kalau itu air mata politisi. Ya, sudahlah.
Masalah ini kemudian ditanggapi serius berbagai kalangan yang pro lingkungan hidup. Tapi seperti dianggap enteng oleh pemerintah dan orang-orang yang mendukungnya. Dari mulut para politisi yang kemudian sekejap jadi ahli lingkungan, Raimundus mendengar pembelaan semacam ini;
"itu kan hanya lima pohon saja yang ditebang."
"Yang namanya pembangunan ya harus ada yang dikorbankan. Mau buka jalan saja harus tebang pohon."