Dunia pemikiran barat telah melewati era filsafat Yunani yang sibuk menyelidiki segala macam pengada yang mendasari alam dan kemudian telah meninggalkan periode filsafat Abad Pertengahan yang berkat kontrol ketat Gereja mendasari segalanya pada yang Transenden yakni Allah. Filsafat praktis hanya menjadi hamba dari teologi yang saat itu sungguh mendapat perhatian dari para teolog-filsuf.
Terhitung sejak Descartes dan Bacon, dunia pemikiran barat memasuki era modern yang ditandai dengan tingginya kesadaran untuk kembali kepada manusia sebagai subjek dan sekaligus objek penelitian filsafat.Secara radikal Descartes dan Bacon meruntuhkan banyak konsep filsafat tradisional terutama metafisika dan eksistensi Allah.
Manusia menjadi sumber, tujuan, dan sekaligus inspirasi penelitian epistemologi, psikologi, etika dan filsafat moral yang benih-benihnya sudah ditanam sejak masa humanis-renesans dalam apa yang dinamakan; pengagungan terhadap kodrat manusia.
Manusia sebagai aku yang berpikir secara gamblang dan eviden untuk menjangkau kebenaran dan teori idola untuk menyibak ambuguitas akal budi yang dicetus oleh Descartes dan Bacon seolah mendapat penegasannya dalam revolusi ilmu pengetahuan yang dimulai dengan kontroversi hebat teori heliosentrismenya Copernicus yang didukung Galilei dan berpuncak pada fisika klasik I. Newton yang mendasari Empirisme Inggris, pencerahan Prancis dan penemuan Kant.
Dengan ini, bukan hanya filsafat tetapi juga rasionalitas ilmu pengetahuan menjadi sangat otonom. Di atas altar objektivitas ilmu pengetahuan (dan filsafat), metafisika tradisional dan iman yang dikungkung dogmatisme tradisi secara niscaya dikorbankan dengan dalil; tidak rasional karena tidak membantu pengembangan kodrat hidup manusia sebagai yang utama dan dipercaya.
Akan tetapi aneka kemajuan ini bukan tanpa masalah sama sekali. Secara sistematis para filsuf yang meneliti akal budi manusia justru jatuh dalam dogmatisme radikal pemikiran yang mereka tolak sendiri. Dua mazhab besar, Rasonalisme dan Empirisme, muncul dengan membawa dalil kebenaran pemikiran mereka sendiri tanpa memandang kelemahan-kelemahan yang sebenarnya ada tetapi ditolak untuk diteliti secara lebih mendalam akibat egoisme pemikiran yang terlampau tak disadari.
Dalam situasi seperti ini, Imanuel Kant datang sebagai pendamai dan dengan jeli menunjukkan sebab-sebab mengapa kedua mazhab tersebut keliru secara mendasar. Kant membuktikan bahwa usaha rasionalisme yang mencari kebenaran putusan-putusan analitis apriori hanya dengan meneliti ide-ide bawaan yang sudah ada secara niscaya dalam akal budi hanyalah usaha yang sia-sia. Kant juga mengkritisi usaha empirisme yang menolak inatisme (John Locke) dan menjadikan pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang dibentuk putusan-putusan sintetis aposteriori.
Secara sangat sederhana bisa dikatakan bahwa Kant mempertemukan Rasionalisme dan Empirisme dalam penemuannya yang khas Kant yakni sintetis apriori. Dari rasionalisme Kant mengambil unsur apriori, dan dari empirisme Kant mengambil unsur sintetis. Namun harus diingat kalau usaha ini bukan sekedar usaha penggabungan dua pemikiran semata sebab dalam penjelasan Kant yang cukup rumit, bentuk-bentuk apriori akal budi (yang ditolak empirisme) perlu menyesuaikan diri dengan pengalaman aposteriori (yang disangkal rasionalisme) untuk sampai kepada suatu kepastian akan kebenaran ilmu-ilmu.
Apa tujuan dari pencarian manusia selama berabad-abad ini? Dari Hegel, kita menemukan; sejarah manusia dan pemikirannya terjadi oleh karena manifestasi roh. Akan tetapi, dari etika Spinoza kita mendapatkan kepastian; semua usaha pencarian filsafat oleh manusia bertujuan untuk mencapai kebenaran yang memberi arti bagi eksistensi manusia. Kebenaran itu adalah kebahagiaan manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H