Lihat ke Halaman Asli

Masih Anggap Rokok Itu Keren?

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14318263221228027813

Ilustrasi : wallpaperseries.com

Pemandangan antrian di beberapa kantor pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sudah menjadi hal yang lumrah untuk ditemui. Rakyat berbondong-bondong untuk mendapatkan haknya memperoleh perlindungan kesehatan dari pemerintah, namun upaya pemerintah memihak kepada masyarakat untuk mendapatkan hidup sehat hanya sebatas itu. Sebenarnya ada hal dan upaya yang lebih besar yang bisa dilakukan pemegang kuasa untuk memberikan perlindungan yang utuh dengan menegakkan regulasi perlindungan kesehatan salah satunya adalah dengan berdiri tegaknya aturan pembatasan produk rokok di masyarakat.

Hingga kini, berdasarkan data World Health Organization (WHO) Indonesia masih menempati urutan ketiga jumlah perokok aktif terbanyak di dunia setelah China dan India. Diantara jutaan perokok aktif sebagian besar perokok adalah pria dewasa, remaja, perempuan, dan anak-anak. Presentase jumlah perokok pun kian hari kian bertambah seiring dengan upaya yang dilakukan industri demi meraup target pasar yang semakin meningkat seperti gencarnya iklan, promosi, bahkan rela mensponsori dengan menggelontorkan banyak rupiah untuk acara-acara yang tersebar di berbagai jenis kegiatan terutama yang menjadi markas anak muda berkreasi dengan harapan mendapatkan kepuasan masyarakat akan citra merek rokok tersebut. Justru yang menjadi perhatian besar saat ini adalah munculnya fenomena baby smoker yang patut menjadi perhatian dan pembelajaran bagi pemerintah yang secara implisit telah dipermalukan terang-terangan oleh media asing di dunia intenasional.

Masalah rokok memang tidak ada habisnya, berbagai upaya telah dilakukan para pegiat peduli kesehatan untukmenggetarkan hati presiden bersikap tegas dalam membatasi produk 9 cm ini. Tak sedikitpun hadirnya peraturan yang tegas mengenai pembatasan penjualan misalnya. Walaupun di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah mengesahkan PP 109 Tahun 2012 mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan namun nyatanya tak cukup selagi belum hadirnya undang-undang serta peraturan mengikat lainnya yang memiliki kekuatan hukum.

Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok Merajalela

Selain itu, masifnya iklan rokok di ranah media membuat produk rokok tidak kehilangan rantai konsumennya terutama menggaet konsumen-konsumen pemula yang notabenenya adalah remaja serta anak-anak. Berdasarkan survei Komisi Nasional Perlindungan Anak, SEATCA, dan Univeristas Indonesia yang dirilis 2007 lalu menyatakan 70% remaja merokok karena dipengaruhi adanya iklan rokok tentu hal ini didukung dengan tidak adanya upaya pembatasan iklan rokok di Indonesia. Berbeda dengan miras yang nyatanya dilarang total dalam perlakukan iklan, rokok begitu gencarnya menghiasi berbagai platform media seperti elektronik, cetak, ruang, bahkan ruang digital tanpa mengenal waktu. Pembatasan iklan rokok hanya dilakukan di media elektronik yang diizinkan siarnya diatas pukul 21.30 WIB namun ranah media lain tidak dibatasi. Rasanya percuma karena taktik industri sekarang ini justru memanfaatkan brand foundation-nya sebagai sarana empuk meningkatan citra perusahaan dan memampangnya. Secara logika, sangat sayang anggaran foundation-nya justru digunakan sebagai biaya produksi iklan bukan digunakan sebagai sumber bantuan ataupun anggaran yang bisa digunakan untuk program sosial yang dimilikinya. Dari hal ini saja, masyarakat bisa menangkap upaya sesungguhnya yang dilakukan, lagi-lagi demi kepentingan brain washing masyarakat agar perusahaan terlihat peduli yang secara otomatis dapat meningkatkan citra merek dagang dan penjualan produk rokok yang dihasilkannya.

Berbeda halnya dengan sponsorship, hadirnya PP 109 Tahun 2012 menyatakan pelarangan segala bentuk kegiatan sponsorship industri rokok masih di acuhkan oleh berbagai penyelenggara acara. Bahkan taktik industri begitu licik dengan memanfaatkannya kembali merek foundation-nya untuk mensponsori berbagai kegiatan dan yang paling miris adalah menjadi sponsor kegiatan olahraga yang sangat bertolak belakang dengan esensi serta nilai manfaat dari olahraga. Bahkan beberapa event organizer yang menggelar acara bertaraf nasional dan internasional secara diam-diam tetap menerima aliran dukungan sponsor tanpa mencantumkan logo sponsor yang sesungguhnya.

Bentuk promosi rokok pun tak kalah menuai kritik, selain menampilkan figur sales promotion girl (SPG)rokok yang begitu menyita perhatian publik terutama kaum adam sebagai promotion tools yang digunakannya, penempatan etalase rokok di minimarket atapaun swalayan juga menuai kritik. Alasannya, penempatan yang tidak memiliki nilai etika dan terlihat sengaja ini ditampilkan bersebalahan dengan produk susu balita. Bagi yang menilainya, sepertinya upaya ini dimaksudkan untuk memperkenalkan sejak dini produk dewasa terhadap anak-anak, jelas ini menjadi tindakan kejahatan dalam upaya perlindungan anak. Jika kita bandingkan dengan produk dewasa lainnya yang bersifat konsumtif seperti miras, penempatannya begitu jauh dari lokasi strategis dan umumnya ditempatkan dalam showcase berlabel “Hanya bisa dibeli diatas usia 18+ / 21+” serta bergembok. Walaupun saat ini beberapa kasir minimarket sudah mulai teredukasi dengan tidak memberikan produk rokok untuk dijual kepada anak serta remaja.

Indonesia Perlu FCTC

10 tahun Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) lahir sebagai upaya global dalam memerangi epidemi tembakau yang sudah tidak dapat di bendung lagi. Banyak hal yang telah dilakukan negara-negara lain untuk memerangi bersama demi mencapai indikator keberhasilan dalam mengurangi jumlah perokok di kawasannya. Nyatanya, Indonesia hingga detik ini enggan untuk menandatangai FCTC yang sebenarnya dapat menjadi solusi bersama demi menciptakan masyarakat indonesia yang sehat. Melihat potensi masyarakat Indonesia terhadap konsumsi rokok membuat para produsen rokok dan investornya lebih memilih Indonesia sebagai negara tujuan mereka. Hal inilah yang membuat situasi mendesak saat ini yaitu diperlukannya regulasi yang mengikat untuk dapat mengendalikan produk tembakau. Salah satunya, Indonesia harus segera mengaksesi dan menandatangani FCTC. Pentingnya aksesi FCTC semata-mata untuk mewujudkan Indonesia yang lebih sehat dengan di dukung berbagai upaya untuk mengendalikan produk tembakau.

Melalui FCTC pengawasan dan pengendalian akan diutamakan termasuk dalam hal harga jual produk yang diharapkan dapat menekan jumlah perokok anak. Kegiatan iklan, promosi, dan sponsor industri rokok pun akan di batasi termasuk dalam hal kemasan produk yang harus benar- benar memberikan informasi sejujurnya bahwa produk rokok tidak aman bagi kesehatan. Kehadiran FCTC disebut juga sebagai perwujudan dari komitmen negara-negara yang telah menandatangani konvensi mengenai hak-hak anak yang diadopsi oleh United National General Assembly pada 20 November 1989. Melalui komitmen tersebut, negara-negara yang telah menandatangani kesepakatan mengakui hak-hak anak untuk dapat menikmati derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dan Indonesia termasuk negara yang telah menyepakati.

FCTC telah 10 tahun lamanya, 90% negara anggota PBB telah menandatangani bahkan mengaksesinya sebagai upaya dalam melindungi masyarakatnya. Ironisnya, Indonesia sebagai negara yang ikut andil dalam perumusan draft FCTC belum mau menandatanganinya hingga 10 tahun lamanya. Indonesia sudah terlanjur malu di depan negara-negara dunia bahkan menjadi satu-satunya negara di Asia dan anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang belum menandatangani FCTC. Bahkan 4 maret 2015 yang lalu, Zimbabwe telah menjadi negara ke-180 yang telah menandatangani FCTC artinya tinggal 7 negara di dunia lagi termasuk Indonesia yang enggan menandatanganinya sehingga negara ini disejajarkan dengan negara kecil seperi Somalia, Eritria, Malawi, Andorra, Monaco, dan Liechestein.Tentunya bersama jutaan masyarakat Indonesia sangat berharap pemerintah tegas dalam memberikan perlindungan bagi generasi sehat. Jangan sampai semua jerih payah yang dilakukan pemangku kuasa hanya berpihak kepada kepentingan tertentu dan mengabaikan kepentingan rakyat sebagaipemegang kedaulatan tertinggi di negeri ini.

Targetnya Remaja dan Anak

Bayangkan saja berdasarkan data The Asean Tobacco Control Atlas tahun 2014, rata-rata orang Indonesia bisa menghabiskan rokok sebanyak 12 batang setiap harinya. Jika dikalikan jumlah perokok aktif di Indonesia yang memiliki jumlah puluhan juta orang, sungguh banyak batang rokok per harinya yang dihabiskan. Data tersebut memiliki korelasi terhadap meningkatknya jumlah perokok anak dan remaja yang dari tahun ke tahun yang semakin meningkat. Masih berdasarkan sumber data yang sama dinyatakan bahwa lebih dari 30% anak Indonesia dilaporkan telah menghisap rokok sebelum usia 10 tahun. Sungguh miris apa yang sedang terjadi dengan generasi bangsa kita, pantas rokok pun menjadi salah satu hal yang menyebabkan kalangan masyarakat bawah tidak memiliki sumber kehidupan yang layak karena lebih mementingkan rokok di banding sandang pangan bahkan sesuatu yang lebih bermanfaat untuk menunjang hidupnya. Perlu disadari, industri rokok memang mengincar anak dan remaja kita sebagai target konsumen mereka. Bahkan beberapa taktik mereka mendukung kegiatan muda sangat getol seperti yang sudah saya bahas di atas.

Berdasarkan riset kesehatan dasar di 2010 misalnya, proporsi orang mulai merokok ada pada usia 15-19 tahun dimana usia tersebut adalah usia-usia remaja yang produktif dalam melakukan segala aktivitas positif. Tentu Bapak dan Ibu bahkan kalian para remaja dan pemuda yang membaca artikel ini pastinya akan berpikir dan menyadari bahwa anak-anak kalian bahkan kalian sendiri para pemaja adalah target kejahatan industri. Hal lainnya yang tentu masih kita ingat dengan kejadian beberapa waktu lalu, industri rokok mensponsori kegiatan muda yang tidak berbudaya dengan pesta bikini. Indikator yang jelas, rokok tidak hanya berbahaya bagi kesehatan tapi merusak moral generasi. Namun begitu masih ada harapan para pembuat kebijakan peduli terhadap kesehatan masyarakat, seperti baru-baru ini menteri perdagangan Bapak Rachmat Gobel melarang total penjualan rokok elektrik, semoga seterusnya akan lahir kebijakan yang berdampak baik bagi kesehatan. Bersama jutaan masyarakat Indonesia sangat berharap pemerintah tegas dalam memberikan perlindungan bagi generasi sehat. Jangan sampai semua jerih payah yang dilakukan pemangku kuasa hanya berpihak kepada kepentingan tertentu dan mengabaikan kepentingan rakyat sebagaipemegang kedaulatan tertinggi di negeri ini.Kalau sudah baca, masih anggap rokok itu keren? Mari sama-sama lindungi anak dan remaja dari target industri rokok #TolakJadiTarget

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline