Lihat ke Halaman Asli

Richard Sikteubun

Seorang yang tidak pernah menjadi "Saya"

(Menjadi) Manusia - Part I

Diperbarui: 1 Maret 2023   20:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(generated by Dall-E 2)

Aku terbangun ketika serigala mengaum. Perlahan dan samar-samar, aku memperhatikan sekelilingku. Langit gelap, namun bulan bersinar dengan begitu terang. Melalui celah-celah pohon besar, sinarnya merambat masuk menerangi hamparan daun-daun coklat yang berguguran dan menutupi seluruh tanah di tempat itu. Suasana begitu hening. Angin bertiup perlahan, namun cukup untuk memaksa tubuhku menggigil. Tanah basah menempel di sekujur tubuhku. Segera aku berdiri dan berlari ke arah mata air di tengah-tengah tempat itu. Aku melompat ke dalamnya, dan membersihkan diriku. Airnya sangat dingin, tetapi aku tidak peduli. Tanah basah itu lalu perlahan-lahan lepas dari tubuhku, dan terbawa aliran air dari tengah-tengah tempat itu, ke arah pohon-pohon besar yang mengelilinginya dan terus lagi melalui pohon-pohon besar itu. Sebaliknya, mata air itu berasal dari bawah sebuah pohon yang bertumbuh tepat di tengah-tengah tempat itu. Akar-akarnya nampak sangkat kokoh, dan seakan-akan telah melubangi tanah sehingga air itu mengalir keluar. Pohon itu tidak terlalu tinggi.  Tetapi karena letaknya tepat di tengah-tengah taman itu tanpa satu pun pohon di sekitarnya, pohon itu nampak megah. Aku tertegun ketika memandang pohon itu. Ada suatu perasaan aneh yang muncul. Pohon itu seakan-akan memanggilku. Sejenak aku terhanyut dalam hipnotis pohon itu, sehingga tak dapat menahan diriku untuk tidak berjalan ke arah pohon itu. Perlahan-lahan aku mendekati pohon itu dan tanganku meraih buah-buahnya yang berwarna hitam. Ketika aku akan memetik buahnya, bunyi guntur yang sangat besar mengagetkanku. Bersamaan dengan itu, seseorang memegang tanganku. "Jangan lakukan itu manusia......engkau akan mati ketika buah itu masuk ke dalam tenggorokanmu". Kata seseorang yang telah memegang tanganku, Seorang Pria tua dengan rambut dan janggut yang sudah memutih. Dia memandangku dengan heran, tetapi kemudian wajahnya menampakkan kegembiraan. "Sempurna.....Sungguh sangat baik......kau telah hidup.....kemarilah". Dia memanggilku. Kami berjalan melewati pohon-pohon besar. Di ujung tempat itu, aku dapat melihat ke bawah, ke arah hutan yang menghampar indah di bawah bukit yang sementara kami pijaki. Sinar bulan menerangi hutan itu, memancarkan suatu pesona yang luar biasa. Mata air dari atas bukit itu, tempat aku membasuh diriku, mengalir ke bawah dan terbagi menjadi empat sungai. Sungai-sungai itu mengelilingi seluruh hutan. Airnya memantulkan kembali cahaya bulan ke atas. Malam itu, untuk pertamakalinya mataku mengenal suatu keindahan. "Seluruh tempat ini aku berikan kepadamu.......Karena itu, engkau berkuasa atas segala sesuatu yang ada di hutan ini.......semua hewan dan tumbuhan......Hiduplah bersama mereka, dan jagalah mereka......Engkau juga dapat memakan semuanya, kecuali........buah dari pohon di tengah-tengah taman ini.........pohon yang dari bawahnya mengalir keluar air sungai yang membasahi seluruh hutan ini.......seperti yang sudah aku katakan tadi......engkau akan mati ketika buah dari pohon itu melewati tenggorokanmu". "Mengapa?". Aku bertanya. "Tidak perlu engkau bertanya mengapa......mulai sekarang, janganlah lakukan hal yang tadi engkau lakukan. Bahkan jangan pernah sekali-kali menyentuh buah itu lagi". Aku semakin heran "Tetapi, siapakah engkau". Dia berdiri, dan sambil berjalan kembali ke dalam melalui pohon-pohon besar, dia menjawab, "Tiap 7 kali engkau melihat bulan ini di langit malam, aku akan kembali". "Tetapi, siapakah engkau". Tanyaku sedikit berteriak. Dia menghentikan langkahnya dan berbalik kepadaku. Di antara bayangan pohon-pohon besar itu, matanya bersinar. "Aku adalah Aku".

                                                                                                                                              ****

Sudah sangat lama domba-domba yang kutuntun untuk merumput sejak siang tadi, tidak kembali. Matahari hampir terbenam, dan aku masih menunggu. Terakhir kali kulihat, mereka berlari ke tengah-tengah hutan, ke arah bukit.  Aku ingin mengejarnya, tetapi aku tidak ingin lagi mendaki bukit itu. Aku tidak ingin lagi mendekati pohon terlarang itu. Apalagi malam ini adalah malam ketujuh bulan itu terlihat di langit, dan pria tua itu akan kembali. Aku tidak ingin dia mendapatiku sementara mendekati pohon itu lagi. Aku hanya berdiri, sambil berharap bahwa domba-domba itu akan segera kembali. Pandanganku kuarahkan kearah bukit, kalau-kalau aku dapat melihat mereka berlari. Tiba-tiba mataku menangkap gerakan-gerakan dahan pohon. Itu pasti mereka, pikirku. Tanpa perlu untuk melihat lebih jelas lagi, aku berlari naik ke bukit, kearah semak-semak yang bergoyang tadi. Aku memacu semua tenagaku untuk mengejar mereka. Tetapi ketika sampai di semak-semak yang bergoyang tadi, aku tidak menemukan apa-apa di situ. Dengan napas yang tersendat-sendat karena kelelahan, aku memegang sebatang pohon sambil mengarahkan pandangan ke atas. Aku dapat melihat beberapa ekor domba berlari semakin ke atas bukit. Dengan sedikit jengkel, aku terus berlari ke atas, meskipun napas dan detak jantungku belum pulih seluruhnya. Hujan rintik-rintik mulai turun, dan perlahan-lahan membesar, membuat jarak pandang mulai berkurang. Aku memutuskan untuk terus berlari mengejar domba-domba itu. Tetapi kini, pendakian semakin sulit sebab tanah telah menjadi licin, sehingga aku beberapa kali terpeleset. Tiba-tiba, aku mendengar sebuah bunyi yang sangat besar, seperti sebuah benda besar jatuh. Bunyi itu berasal dari atas bukit, tetapi aku tidak dapat melihat apa yang terjadi, sebab hujan dan kabut begitu tebal. Aku terus saja berlari, hingga akhirnya sesuatu menghantamku. Apa pun itu aku tidak tau. Yang aku tahu adalah bahwa aku terjatuh di tanah dan kesadaranku perlahan menghilang.

                                                                                                                                               ****

"Akhirnya engkau tersadar". Sebuah suara yang tidak begitu aku kenali tetapi tidak lagi asing. Mataku perlahan terbuka, hingga akhirnya dapat kulihat bahwa itu adalah pria tua berjanggut putih, orang pertama yang aku temui, satu-satunya orang yang aku kenal. Rusukku terasa begitu sakit, seakan-akan ia telah tercabut dari dadaku. "Aku menemukanmu terkapar di kaki bukit. Apakah engkau ingin mendaki ke atas? Apa yang hendak engkau lakukan manusia?". Tanya pria itu. "Ti....tidak....aku hanya mengejar domba-domba. Mereka berlari ke atas bukit. Karena hari hujan dan matahari hampir terbenam, aku ingin segera menuntun mereka semua kembali". Kataku sedikit takut. "begitu rupanya" balasnya singkat. "bagaimana kehidupan di taman? Apakah engkau menikmatinya?" Pria tua itu kembali bertanya. "aku menikmatinya. Kehidupan begitu tenang dan damai. Semuanya hidup berdampingan dengan aman. Tetapi...." Jelasku. "tetapi ?" potongnya. "tetapi aku sendiri tidak memiliki pendamping" kataku dengan sedikit kecewa. Dia sedikit tersenyum. "marilah. Bangkitlah dan ikutilah aku" katanya sambil berjalan. Aku lalu berdiri dan berjalan mengikutinya, melewati pohon-pohon besar yang berdiri kokoh, ke tengah-tengah hutan. Ketika tersadar bahwa kami sementara berjalan mendekati pohon terlarang di tengah-tengah taman, aku bertanya,"apakah engkau hendak membawaku ke pohon terlarang itu?". "janganlah takut. Aku hendak menunjukkan sesuatu kepadamu wahai manusia" katanya sambil terus berjalan, tanpa menoleh sedikit pun kepadaku. Dengan sedikit takut dan sambil memegang dadaku yang sakit, aku terus mengikutinya. Tiba-tiba sekujur tubuhku terasa dingin, dan muncul suatu perasaan aneh yang tidak dapat aku jelaskan. Keadaan menjadi hening seketika. Tanpa perlu melihat ke depan, aku tahu bahwa kami telah mendekati pohon itu. Auranya begitu kuat, sehingga seakan-akan tumbuhan-tumbuhan hutan yang lain tidak mampu untuk tumbuh di sekitarnya, dan membuatnya berdiri anggun di tengah-tengah bukit, dikelilingi oleh pohon-pohon besar nan kokoh. "kemarilah. Lihatah ke dalam" Pria tua itu memanggilku sambil menunjuk ke arah mata air di bawah pohon terlarang.  Aku lalu berjalan ke mata air di bawah pohon itu. Aku terkejut dan tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Seseorang yang berwujud dan berupa sama sepertiku, namun dengan paras yang cantik dan sentuhan yang lembut. Aku berjalan mendekatinya yang sementara membasuh tubuhnya pada mata air di bawah pohon terlarang itu. Sama seperti pertama kali aku melihat pohon terlarang, aku terhipnotis dengan keindahan dan keelokan di hadapan mataku saat ini. Dia tersenyum kepadaku. Jantungku berdetak dengan cepat dan napasku memburu. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini, tetapi aku akan menamainya Cinta. "Inilah dia, penolongmu wahai manusia, dia yang sepadan dan setara denganmu. Dia akan dinamai perempuan, sebab dia diambil darimu, dari rusukmu". Kata pria tua itu dengan suara bahagia, sambil menyatukan tanganku dan tangan perempuan itu. Dia lalu meletakkan tangannya di atas kepala kami berdua. Di bawah sinar purnama, dalam keheningan yang pekat, dia berseru,"Mulai sekarang, engkau akan dipanggil Adam, dan engkau akan dipanggil Eva. Kalian bukan lagi dua, melainkan satu". Rasa sakit di dadaku pun lenyap seketika. Mungkin aku telah menemukan bagian yang hilang dari diriku.

                                                                                                                                               ****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline