Lihat ke Halaman Asli

Richardo Gerry

Lulusan S1 Ilmu Filsafat di STFT Widya Sasana Malang dan sedang menempuh persiapan S2 di STF Driyarkara Jakarta.

Mencari Titik Temu Sistematis Filsafat India dan Filsafat Barat

Diperbarui: 18 September 2023   09:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Detail dari School of Athens, lukisan dinding oleh Raphael, 1508?111; di Stanza della Segnatura di Vatikan.(britannica.com) 

Filsafat India pada abad ke 19 sangat sering disebut sebagai filsafat India modern yang dicirikhaskan dengan "Renaisans India".[1] Ciri khas seperti ini terkesan luhur dan mengagumkan, tetapi justru dipersoalkan, karena tidak sesuai dengan realitas historis pada masa itu di India. Sejak kedatangan bangsa Portugis oleh Vasco da Gama pada tahun 1498 hingga puncak imperialisme Inggris pada abad ke-19, budaya India terkontaminasi oleh budaya dan cara berpikir barat.

Dalam bingkai persyaratan, tuntutan dan pengaruh kekuasaan kolonial, filsafat India lebih kuat mencerminkan konflik dan perbenturan antara budaya India dan budaya barat dari pada corak renaisansnya India. Konflik dan perbenturan itu tampak dengan jelas ketika kaum cendekiawan India mempelajari filsafat barat, khususnya filsafat Kant, dengan maksud untuk menerapkan secara radikal kebudayaan barat dan cara berpikir-nya ke bumi India. Prinsip hidup barat, yaitu prinsip "akal budi" (Vernunft), meskipun prinsip ini tampil di alam budaya asing di tengah tradisi Hindu, memperlihatkan satu kekuatan yang destruktif terhadap tradisi Hindu yang sudah berabad-abad berurat akar di India.

Social reformer of Raja Ram Mohan (4.bp.blogspot.com)

Untuk menghadapi bahaya pengrusakan budaya sendiri oleh karena dampak negatif kebudayaan barat, tampillah para pembaharu di kalangan kaum cendekiawan, seperti Ram Mohan Roy dan Nehru. Mereka berusaha untuk membuat sintesis antara kebudayaan India dan kebudayaan barat. Pembaharuan yang mereka jalankan mengarah ke dua hal, yaitu di satu pihak penghidupan kembali filsafat klasik India seperti Vedanta dan di lain pihak penerapan filsafat barat yang menurut keyakinan mereka memuat nilai-nilai humanistis-universal. 

Orang mendapat kesan seakan-akan usaha pembaharuan itu dapat terlaksana dengan mudah, tetapi ternyata pada akhir abad 19 usaha pembaharuan itu terasa sulit, karena ada jurang yang tak ter-jembatani antara massa rakyat dan kaum cendekiawan. Massa rakyat masih hidup terikat erat dengan tradisi budaya dan keagamaan mereka, sementara kaum cendekiawan sudah dipengaruhi dan terbuai oleh kebudayaan dan cara berpikir barat.

Maka, muncullah pertanyaan mendasar: "Apakah memang benar bahwa filsafat barat dan budayanya menawarkan unsur-unsur humanistis-universal yang menjadi milik bersama? De facto, India dan dunia barat sama sekali berbeda dalam ruang dan waktu sehubungan dengan proses terjadinya budaya mereka.[2] Adalah meragukan bahwa di India orang memandang budaya barat sebagai yang memiliki nilai humanistis-universal. Karena itu, orang lalu mempertimbangkan apakah ada titik temu sistematis yang menjadi tempat perjumpaan antara kebudayaan tradisional Hinduisme dan filsafat klasik India di satu pihak dan di pihak lain dunia modern yang diwakili oleh kebudayaan barat dan filsafatnya.  

Vedanta (4.bp.blogspot.com)

Pada akhir abad 19 dan awal abad 20 timbullah harapan bahwa filsafat India dapat berkembang menjadi satu filsafat modern yang dipandang sebagai "yang khas milik India", dalam arti bahwa filsafat India memiliki satu kekhasan yang berbeda secara hakiki dari filsafat barat. Kekhasan filsafat India itu lalu ditemukan dalam istilah dan pengertian "spiritualitas", yang merupakan inti sari atau unsur hakiki filsafat India. Bagi orang India, spiritualitas berarti baik pengetahuan (Erkenntnis) maupun perwujudan diri.

Dalam konteks istilah dan pengertian "spiritualitas" itu, filsafat India modern mencoba menemukan satu jalan alternatif yang dapat menghubungkan budaya tradisional India dengan  filsafat barat yang diterima di India. Jalan alternatif inilah - mungkin jalan alternatif ini dijumpai dalam masa post-modernisme - yang disebut sebagai satu titik temu sistematis. Di sana dapat dikenal lagi kekhasan filsafat India yang tercermin dalam filsafat klasik India, khususnya Vedanta, dan dari pengenalan kembali filsafat klasik India pada waktu yang sama orang dapat mengolah dan menemukan elemen-elemen inklusif dari filsafat barat, khususnya prinsip "akal budi" dan "ilmu pengetahuan".

Battacharya justru merupakan salah satu tokoh yang memperlihatkan semangat dan usaha untuk menemukan jalan alaternatif itu dalam refleksi filosofisnya. Filsafatnya di satu pihak berpusat pada pengolahan terhadap tradisi Vedanta, dan di lain pihak pada pengolahan terhadap filsafat barat dalam pertemuan dengan filsafat India klasik, khususnya tradisi Vedanta.

Catatan Kaki

[1] Waligora, Melita: K.C. Bhattacharyas Konzept der Philosophie. In: Philosophische Grundlagen der Interkulturalitt. Studien zur interkulturellen Philosophie. Bd. I. Mall, R.A. / Lohmar, D. ( Hrsg.). Amsterdam: Editions Rodopi B.U., 1993, hlm. 213-225.

[2] Mall, Ram Adhar & Hlsmann, Heinz: Die drei Geburtsorte der Philosophie. China. Indien. Europa. Bonn: Bouvier Verlag, 1989, hlm. 33-52.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline