Lihat ke Halaman Asli

Membangun Daerah tanpa OTT

Diperbarui: 6 Oktober 2017   21:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya untuk meningkatkan pelayanan publik ditempuh melalui kebijakan merencanakan, menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD merupakan salah satu instrumen pembangunan daerah sebagaimana semangat otonomi daerah. Otonomi daerah diharapkan mampu mempercepat pembangunan di daerah yang sesuai dengan kebutuhan daerah sehingga berimplikasi pada percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam pembangunan.

Satu minggu terakhir kita kembali disuguhi oleh berita Operarasi Tangkap Tangan (OTT) Kepala Daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bupati Batubara Provinsi Sumatera Utara diamankan KPK pada tanggal 13 September 2017, kemudian menyusul pada tanggal 16 September 2017 Walikota Batu Provinsi Jawa Timur yang dibawa oleh KPK dari rumah dinasnya. Keduanya diduga menerima suap dari rekanan atas proyek pengadaan yang bersumber dari APBD masing-masing daerah yang dipimpinnya.

Kasus OTT dua Kepala Daerah di atas memperlihatkan semangat otonomi daerah itu ibarat jauh panggang dari api yang tidak tahu kapan matangnya. Pemimpin Daerah yang diberi amanah dan dipilih secara langsung oleh rakyat diduga abai terhadap kesejahteraan rakyatnya. Mereka menghianati rakyat dengan menerima suap dari rekanan yang bersumber dari dana proyek APBD. APBD yang seharusnya dituangkan dalam bentuk program dan kegiatan untuk kesejahteraan rakyat dinikmati oleh segelintir orang yang tidak bertanggungjawab.

Ketika terjadi suap dari rekanan kepada Pemerintah Daerah sudah tentu rekanan akan mengurangi kualitas pekerjaannya. Akibatnya usia pekerjaan yang diserahterimakan dari rekanan kepada pemerintah menjadi lebih pendek dari yang seharusnya, bahkan bisa saja tidak bisa dimanfaatkan yang berujung pada pemborosan keuangan daerah yang merugikan keuangan daerah. Dampak jangka panjangnya kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan seperti mimpi di siang bolong. Bagaimana rakyat bisa sejahtera kalau jalan rusak, fasilitas kesehatan dan pendidikan tidak layak, dan pelayanan masyarakat dan fasilitas publik lainnya rusak sebelum waktunya.

Kedua Kepala Daerah ini pun menambah daftar panjang Kepala Daerah di Indonesia yang berurusan dengan lembaga anti rasuah KPK. Di media massa Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo mengungkapkan bahwa sampai dengan saat ini sudah 77 Kepala Daerah di seluruh Indonesia yang terkena OTT. Tentu menjadi pertannyaan mengapa begitu banyaknya Kepala Daerah yang tersangkut kasus korupsi.

Pertama, tingginya biaya politik yang harus disiapkan oleh calon Kepala Daerah. Mengutip dari media online www.rappler.com mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas pernah menghitung biaya untuk maju dalam pemilihan Gubernur tidak akan kurang dari Rp 100 miliar. Biaya untuk mengikuti pemilihan Bupati atau Walikota Rp 20 miliar. Biaya ini tentunya digunakan untuk sosialisasi, publikasi dan kampanye kepada masyarakat.

Apa lagi calon Kepala Daerah tersebut belum dikenal di kalangan masyarakat luas, biaya publikasi dan sosialisasi calon Kepala Daerah pun menjadi semakin tinggi. Ditambahkannya lagi gaji kotor yang dibawa pulang setiap bulan oleh Bupati atau Walikota sekitar Rp 100 juta per bulan atau sebesar Rp 1,2 miliar setahun dan sekitar Rp 6 miliar dalam lima tahun. Dari data ini tentu tidak heran jika dari sekian banyak kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah, secara umum seluruhnya melibatkan pihak rekanan (pengusaha), karena dari gaji saja tidak cukup untuk modal maju menjadi calon Kepala Daerah. Selisih inilah yang dimungkinkan berasal dari pengusaha yang ketika nanti terpilih harus dikembalikan melalui proyek di APBD.

Nampaknya perlu dilakukan evaluasi yang komprehensif terkait dengan proses demokrasi dan otonomi daerah selama ini sehingga dapat menekan biaya politik yang tinggi. Seyogianya jabatan Kepala Daerah bukanlah tempat untuk mencari makan dan menumpuk harta bagi para calon, melainkan tempat mengabdikan diri, membangun daerah dengan segala sumberdaya dan potensi yang dimiliki daerah sebagaimana cita-cita awal dari semangat otonomi daerah. Sebagian masyarakat masih belum sadar akan arti demokrasi yang bermakna dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Masih ada kita dengar slogan di tengah masyarakat "NPWP", Nomor Piro Wani Piro. Sebagian masyarakat bukan lagi menjatuhkan pilihan pada orang yang berkompeten dan berintegritas, melainkan pada orang yang mampu membeli suaranya. Ketika suara sudah dibeli, pembangunan di daerah menjadi anak tiri.

Kedua, belum optimalnya fungsi pengawasan intern oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) di daerah. Inspektorat Daerah yang menjalankan fungsi pengawasan dan diharapkan menjadi early warning system (sistem peringatan dini) pencegahan korupsi di daerah akan mengalami kendala ketika hasil pengawasannya melibatkan Kepala Daerah yang merupakan atasannya. Belum lagi anggaran pengawasan di daerah yang sangat bergantung kepada Kepala Daerah. Kepala Daerah yang concern membangun daerahnya akan mengalokasikan anggaran pengawasan yang cukup, sedangkan yang tidak concernakan mengalokasikan seadanya.

Dengan sistem yang ada saat ini, maka kemajuan pembangunan di daerah akan sangat bergantung kepada komitmen dan integritas Kepala Daerahnya. Seharusnya sistem yang dibangun harus tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya siapapun orang yang menjalankan roda pemerintahan. Sudah saatnya APIP di daerah diperkuat dengan peraturan perundang-undangan yang memadai sehingga tidak lagi menjadi pelengkap penderita ketika terjadi OTT dibanjiri pertanyaan, "Inspektoratnya kemana saja selama ini?". Sampai dengan saat ini Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pengawasan Intern Pemerintah yang dulu pernah kita dengar belum juga ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU).

Ketiga, partai politik masih belum berhasil memberikan pendidikan politik pada masyarakat. Setiap ada perhelatan pesta demokrasi masih saja ada pemberitaan adanya money politik (politik uang) dan serangan fajar agar masyarakat memilih. Wakil rakyat yang diharapkan mewakili aspirasi rakyat yang memilihnya belum fokus dalam menyampaikan aspirasi konstituennya. Tidak sedikit juga anggota legislatif yang terkena OTT karena korupsi. Sebagian masih berorientasi bagaimana supaya terpilih kembali dengan melakukan korupsi agar bisa membeli suara rakyat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline