Lihat ke Halaman Asli

Dilema Kebijakan Pembatasan BBM Bersubsidi

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rata Penuh

Oleh : Richardo. Saragih Setiap kali singgah di SPBU untuk mengisi BBM kendaraan yang kita tumpangi, akan terlihat jelas di sudut SPBU spanduk bertuliskan “Premium adalah BBM Bersubsidi hanya untuk golongan yang tidak mampu”. Suatu jargon yang dibuat oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) guna mengajak setiap masyarakat yang secara ekonomi sudah dapat dikatakan mampu agar tidak menggunakan BBM subsidi yang merupakan hak golongan kurang mampu. Di samping itu hal ini juga dilakukan oleh pemerintah untuk menghemat anggaran subsidi BBM yang mana pada APBN 2011 menyentuh angka 165 triliun. Padahal pada awalnya subsidi BBM hanya ditetapkan sebesar 129 triliun (jebol 36 triliun). Namun demikian, pemandangan yang saya lihat tidak berapa yang mengindahkan himbauan tersebut. Banyak mobil pribadi yang tetap memakai premium yang menjadi hak golongan tidak mampu. Keputusan yang sangat dilema memang untuk beralih dari premium (BBM subsidi) ke pertamax (BBM non-subsidi) mengingat selisih harga yang cukup tajam sampai dengan 100 %. Jika begini kondisinya, siapakah golongan mampu dan siapa pula golongan tidak mampu ?. Tidak ada indikator yang jelas akan hal ini. Mereka yang memiliki mobil pribadi harus beralih dari premium ke pertamax tentunya harus kembali berpikir, mengingat beban belanja mereka untuk BBM harus naik menjadi dua kali lipat. Himbauan yang yang disampaikan pemerintah melalui spanduk dan iklan di media pun ternyata tidak mampu untuk membendung borosnya subsidi BBM. Data Bapenas menunjukkan bahwa 70 % subsidi BBM dinikmati oleh masyarakat golongan mampu. Setelah melalui berbagai kajian, mulai tanggal 1 April yang akan datang pemerintah telah membuat kebijakan harga BBM dalam kategori bersubsidi dan tidak bersubsidi. Dalam kebijakan tersebut hanya kendaraan roda dua dan kenderaan umum (plat kuning) yang diperbolehkan menggunakan BBM bersubsidi (premium) dan sisanya wajib menggunakan pertamax. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) APBN 2012. Kebijakan ini dimaksudkan meminimalkan subsidi dalam APBN 2012 tanpa menaikkan harga BBM bersubsidi. UUD 1945 Pasal 33 ayat (3), berbunyi : ) “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Merujuk pada isi UU ini, sudah seharusnya sumber daya minyak yang berasal dari bumi Indonesia dapat dinikmati oleh seluruh masyarakatnya. Apakah benar setiap orang yang memakai mobil pribadi sudah dapat dimakmurkan dengan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi ini? Apakah benar perekonomiannya secara pribadi sudah mampu untuk mengatasi kondisi ini? Atau bahkan ia harus menjual mobil pribadi miliknya karena tidak mampu lagi mengisi pertamax. Tentu hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, sebab industri otomotif dan industri terkait bisa layu karena menurunnya permintaan akan produk-produk otomotif. Hal ini juga dapat menimbulkan masalah yang baru, seperti pengangguran dan masalah sosial lainnya. Meningkatnya subsidi BBM di APBN selama ini lebih dipengaruhi harga minyak dunia yang berada di atas asumsi APBN. Misalnya yang terjadi pada tahun lalu (2011), subsidi melonjak hebat karena harga rata-rata minyak US$ 115 per barel, jauh di atas asumsi di APBN-P 2011 sebesar US$ 95 per barel. Pertanyaannya adalah: minyak punya bangsa Indonesia, dikeruk dari perut bumi Indonesia, mengapa kita harus terpengaruh dengan harga minyak dunia?. Mengapa tidak dipergunakan untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33?. Akar masalahnya terletak pada Undang-undang perminyakan dan gas bumi yang lebih mengutamakan kepentingan investor (asing). Sesuai dengan UU No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi (ESDM), Pasal 22 ayat (1) “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri”. Jadi, hanya 25 % yang menjadi bagian bangsa Indonesia, sisanya sebesar 75 % untuk investor yang tentunya akan disesuaikan dengan harga pasar minyak dunia. Investor tentu menginginkan tingkat keuntungan yang lebih. Sesuai dengan amanah UUD 1945 Pasal 33 hal ini telah bertentangan dengan konsep kesejahteraan rakyat. Sudah seharusnya pemerintah jeli melihat kondisi ini dengan merevisi pasal tersebut. Siapa yang diuntungkan? Dengan ditetapkannya kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maka secara otomatis permintaan akan BBM non-subsidi akan meningkat drastis. Bayangkan saja, semua mobil pribadi yang sebelumnya masih sebagian kecil yang menggunakakan pertamax, 1 April mendatang secara keseluruhan diwajibkan menggunakan pertamax. Dari data BP-Migas yang dikutip VIVAnews.com, Selasa 27 Desember 2011, dari lima perusahaan migas terbesar di Indonesia empat diantaranya adalah milik asing. Posisi pertama dipegang oleh PT Chevron Pacific Indonesia (Amerika Serikat), kedua PT Pertamina milik Indonesia, ketiga PT Total Indonesia E&P (Prancis), keempat PT CoconoPhilips (Amerika Serikat), dan di posisi kelima dipegang oleh perusahaan asal China, CNOOC, SES. Dari data ini dapat kita lihat bahwa sesungguhnya pihak asing lah yang lebih diuntungkan melalui kebijakan ini. Dengan kebijakan ini juga Pertamina harus segera mempersiapkan infrastruktur pendukung di setiap SPBU milik Pertamina untuk mendukung dan mengawasi suksesnya kebijakan ini. Sebab belum semua SPBU tersebut memiliki tangki penyimpanan BBM non-subsidi (pertamax). Sampai saat ini masih begitu banyak wacana yang kita dengar membicarakan hal pembatasan subsidi BBM ini. Saya berpendapat bahwa menaikan harga BBM bersubdi merupakan opsi yang terbaik untuk menekan anggaran subsidi BBM, sebab beberapa tahun yang lalu harga BBM subsidi sudah pernah bertahan pada harga Rp. 6.000,- per liter. Di sisi lain, infrastruktur untuk mendukung kebijakan pembatasan BBM ini belum siap di seluruh SPBU. Dengan kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi tidak perlu pengawasan yang rumit dalam pelaksanaannya di lapangan. Namun demikian, UU APBN 2012 tidak membuka ruang untuk hal ini, kecuali melalui APBN-P 2012. Namun sepertinya kenaikan harga BBM bersubsidi ini tidak bisa tidak harus dilaksanakan tahun ini. Hal ini diperkuat dengan telah ditandatanganinya Perpres No. 15 Tahun 2012 tentang BBM bersubsidi. Namun demikian tidak cukup hanya sampai pada Perpres, sehingga menteri ESDM telah memastikan bahwa APBN-P akan diusulkan oleh pemerintah lebih cepat kepada DPR, yang mana biasanya baru dibahas di bulan Juni. Hal ini dilakukan untuk mencegah bobolnya APBN 2012 akibat meningkatnya minyak dunia secara perlahan. Namun demikian, saya melihat kebijakan ini ibaratnya “memberikan obat sakit kepala kepada seorang yang mengalami sakit kepala, yang mana sakit kepala yang dialami oleh si penderita hanyalah merupakan gejala dari akar penyakitnya, misalnya karena lapar”. Tentu obat yang paling mujarab adalah dengan segera mengisi perut dengan makanan. Seperti yang telah saya uraikan di atas, akar masalahnya bukan soal BBM bersubsidi dibatasi atau dinaikkan harganya, melainkan terletak pada UU No. 22 tahun 2001, pasal 22 tentang ESDM yang sangat berpihak pada investor. Dengan opsi kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi, lagi-lagi yang menjadi korban adalah masyarakat golongan ekonomi menengah-bawah. Kebijakan yang sangat naif rasanya jika pemerintah dan DPR hanya mengantisipasi gejala sesaat tanpa memulihkan akar masalahnya. Penutup Mungkin opsi yang diusung pemerintah melalui kebijakan UU APBN 2012 kali ini dengan mengkategorikan BBM bersubsidi dan BBM non-subsidi adalah dengan mengamalkan UU No. 22 tahun 2001, Pasal 28 ayat 3, yaitu untuk melindungi masyarakat kecil. Sebab mayoritas penduduk Indonesia berada pada golongan ekonomi menengah – bawah. Jangan sampai masyarakat golongan ekonomi kurang mampu menjadi korban kebijakan elit bangsa. Selain itu, jika harga BBM bersubsidi dinaikkan, mengingat peristiwa yang lalu bukan tidak mungkin akan terjadi demonstrasi di setiap daerah di Indonesia yang meminta agar harga BBM turun. Hal ini pun dapat mempengaruhi stabilitas politik, ekonomi, sosial-budaya, dan keamanan di tanah air. Kondisi yang kurang baik di tengah suburnya pertumbuhan investasi ekonomi di Indonesia. Setiap kebijakan tentu memiliki harga yang mahal, memiliki nilai positif dan negatif. Sehingga dalam menyikapi permasalahan ini pemerintah memang harus berhati-hati dalam melaksanakannya mulai dari implementasi kebijakan sampai pada pengawasan di lapangan agar jangan sampai terjadi masalah yang baru yang merugikan masyarakat. Sekali lagi yang menjadi pokok permasalahan dalam pembatasan BBM bersubsidi ini adalah lemahnya posisi bangsa Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri akibat UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sehingga dibutuhkan keberanian dari pemerintah untuk merevisi UU tersebut untuk mencapai kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Jangan lagi menjadi tamu di rumah sendiri. Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi USU dan aktif di IMAS-USU

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline