Ketika wacana tentang kurikulum merdeka disiapkan menjadi kurikulum nasional bergulir, saya merasa pesimis bahwa kurikulum merdeka dapat bertransformasi menjadi kurikulum nasional.
Barangkali sebagian besar orang menjadikan wacana ini menjadi hal yang mungkin, tapi bagi sebagian yang lain agak sulit.
Kesulitan yang pertama adalah jabatan Nadiem Makarim sebagai menteri yang membidangi urusan ini tidak mengekal. Sejarah pendidikan di Indonesia memberikan kita pengalaman traumatis bahwa tak ada kurikulum yang abadi di setiap rezim.
Mengapa demikian? Setiap orang yang dipercayakan menjabati menteri pendidikan senantiasa berlomba-lomba menciptakan produk kurikulum sebagai kurikulum yang terbaik. Seolah-olah ada sebuah stigmatisasi bahwa menteri tanpa produk kurikulum adalah menteri gagal.
Dengan demikian maka apresiasi terhadap kurikulum sebelumnya tidak akan pernah ada dan justru yang ada hanyalah menegasikan produk kurikulum sebelumnya dan membanggakan kurikulum yang baru sebagai kurikulum yang paripurna.
Gambaran sejarah budaya pendidikan kita di atas sesungguhnya sedang mengintip mas Nadiem Makarim di ujung jabatannya. Siapa yang bisa menjamin bahwa presiden yang baru nanti akan mempertahankan beliau?
Tidak ada yang pasti bila rekrutmen sumber daya manusia selalu diintervensi oleh politik. Ini yang sering terjadi di negara kita.
Oleh karena itu mungkin saja kurikulum merdeka tidak berpindah nama menjadi kurikulum nasional melainkan justru berkemungkinan menemukan kematiannya yang mengenaskan pada rezim yang baru. Kalkulasi politik dapat mengubah segalanya.
Pesimis terhadap kurikulum merdeka menjadi kurikulum nasional juga didasari oleh implementasi kurikulum merdeka saat ini.
Dari perspektif lingkungan kebijakan membuktikan bahwa kurikulum merdeka berjalan sangat lambat di daerah-daerah yang terisolasi dan tingkat kemajuan teknologi yang relatif rendah.