Beberapa waktu lalu ketika melintasi wilayah barat pulau Flores, saya bertemu dengan sahabat lama yang saat ini sedang menduduki jabatan anggota legislatif.
Di sela kesibukan kampanye, kami sempat berdiskusi banyak hal yang bermunculan ketika musim Pemilu tiba. Seperti biasa di masa-masa seperti ini muncul artikulasi politik ekstrem seperti radikalisasi agama, terorisme dan sektarianisme, distribusi hoax dan macam-macam negative campaigne yang merusak demokrasi.
Namun terlepas dari politik ekstrem yang sedang menguliti demokrasi kita, saya merasa heran mengapa sahabatku sibuk blusukan dari rumah ke rumah padahal statusnya adalah seorang incumbent.
Namun memang perihal incumbent yang mencari suara di saat kampanye ternyata hampir semua, bukan hanya seorang sahabat lama yang saya temui kala itu.
Kesibukan tingkat tinggi yang dilakukan oleh para incumbent pada masa kampanye mendorong saya untuk mengutarakan sebuah pertanyaan ke hadapan publik.
Mengapa mereka (Caleg incumbent) sama sibuknya dengan Caleg non-incumbent? Padahal masa kampanye para incumbent sesungguhnya adalah lima tahun, jauh lebih lama dari pada Caleg non-incumbent. Kampanye lima tahun yang saya maksudkan bukan kampanye dalam arti formil.
Kampanye politik formil diatur dengan peraturan tersendiri, baik berupa waktu, tata cara, pengawasan, dan sanksi-sanksi jika terjadi pelanggaran.
Kampanye yang saya maksudkan adalah segala upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk membentuk personal branding dan organizational branding berkaitan dengan kebijakan dan program yang ditujukan kepada khalayak atau entitas tertentu.
Merujuk pada arti kampanye di atas maka kinerja kerja merupakan salah satu bentuk kampanye untuk membentuk personal branding.
Jika demikian maka masa lima tahun adalah kesempatan bagi para incumbent untuk membentuk personal branding atau opini publik yang menggambarkan kepantasan dirinya menjabati jabatan tersebut dengan memberikan kinerja yang mengesankan publik.