Ketika debat Cawapres akan digelar, saya tidak berharap banyak bahwa isu tentang masyarakat adat akan mendapat porsi lebih dalam dialektika perdebatan. Mengapa demikian? Menurut saya, semua pemimpin yang pernah menahkodai kapal besar bernama Republik Indonesia ini sama sekali belum memberikan perhatian serius terhadap sebuah entitas yang dinamakan masyarakat adat. Sehingga meskipun masyarakat adat diarusutamakan dalam debat sekelas Cawapres atau Capres, semuanya hanya omong kosong.
Terlalu sering kebijakan pemerintah beririsan langsung dengan kepentingan dan bahkan hak hidup masyarakat adat. Problem laten ini tidak hanya pada pemerintah pusat tetapi merambah pada pemerintah daerah yang berinteraksi langsung dengan semua komunitas masyarakat adat. Terlalu banyak fakta yang menerangkan banyaknya kasus yang menyeret pemerintah dan sekelompok masyarakat adat di meja hijau.
Hal ini semacam sebuah paradoks kekuasaan yang terpampang jelas di mata publik. Pemerintah dengan kekuasaan yang dimiliki seharusnya digunakan untuk melindungi masyarakatnya bukan untuk memperkarainya. Kekuasaan yang dimiliki pemerintah merupakan pemberian masyarakat. Bahkan tak jarang kekuasaan tersebut diperoleh melalui jalur keberpihakan terhadap masyarakat adat sehingga memantik simpati publik untuk meraup suara dalam Pemilu.
Banyak politisi yang kini menggenggam kekuasaan atas nama pemerintah pernah melewati jalur tersebut. Tidak sedikit politisi yang kini menjabat sebagai pemegang kekuasaan baik di daerah maupun di pusat pernah menjual nama masyarakat adat untuk kepentingan politik.
Dengan memproklamirkan diri sebagai aktivis pejuang masyarakat adat, mereka perlahan-lahan merengsek masuk ke dunia politik dan mengaku-ngaku sebagai utusan kelompok masyarakat adat tertentu.
Sayangnya, ketika dagangan isu kepentingan masyarakat adat laris, mereka dengan mudah melupakan setiap kepingan penderitaan komunitas masyarakat adat. Kepentingan masyarakat adat yang dahulu dijadikan sebagai orasi perjuangan tak lagi mendapat tempat dalam ruang-ruang kebijakan publik.
Memang tidak semua pemerintah yang telah berkuasa mengabaikan keberpihakan komunitas masyarakat adat. Namun mereka yang sungguh-sungguh berpihak tidak banyak. Tidak mengherankan bila terlihat banyak masyarakat adat yang kehilangan hak-hak ketika roda pembangunan harus menggilas setiap pelosok lokalitas negeri ini.
Dalam situasi semacam ini kita seperti kehilangan nurani. Masyarakat adat hanya dijadikan kuda tunggangan menuju kekuasaan. Isu-isu komunitas masyarakat adat hadir hanya sebatas pelengkap materi debat namun absen dalam tiap ruang-ruang kebijakan di negeri ini. Eksistensi masyarakat adat tidak dipandang sebagai kekayaan dan aset vital di negeri ini melainkan bahan untuk dipolitisasi.
Sejatinya perdebatan dengan menggunakan isu masyarakat adat sebagai instrumen dalam meraih kekuasaan memenuhi kaidah-kaidah dialektika keberpihakan verbal namun sesungguhnya absurd dalam formulasi kebijakan publik. Artinya, pengarusutamaan masyarakat adat dalam debat Cawapres tidak lebih dari iming-iming menyenangkan komunitas-komunitas lokal.
Kita mesti jujur bahwa sejak Indonesia ini berdiri tegak sebagai sebuah negara yang berdaulat, masyarakat adat belum mendapat tempat istimewa dalam kebijakan publik. Selain itu kita juga harus terbuka bahwasannya yang terjadi selama ini adalah politisasi masyarakat adat dan lebih dari itu masyarakat adat sering menjadi korban kebijakan.