Entah sudah berapa kali saya menulis tema ini. Rasa-rasanya saya kehabisan akal untuk membuat tulisan yang mencerahkan pembaca (masyarakat akar rumput) tentang mengabsenkan politik uang dan menghadirkan rasionalitas sekaligus moralitas dalam setiap pengambilan keputusan politik. Namun ada pepatah bahasa Latin 'Gutta cavat lapidem non vised saepe cadendo; sic homo fit sapiens bis non, sed saepe legendo'; Batu berlubang bukan karena kekuatan yang dashyat tapi akibat tetesan air yang berulangkali; Begitu pula manusia menjadi bijak bukan karena satu dua kali tapi karena kerapkali membaca. Pepatah inilah yang menjadi spirit untuk terus mengedukasi publik meskipun dalam tema-tema yang selalu sama.
Politik uang selalu diartikan sebagai bentuk-bentuk pemberian untuk menyogok seseorang menggunakan hak pilihnya untuk kepentingan penyogok. Budaya ini melaten di setiap Pemilu dan masyarakat kerap mewajarkannya. Miris, ketika semakin banyak orang peduli dengan berbagai usaha memurnikan masyarakat dari pengaruh politik uang, tapi di sisi lain masyarakat tertentu justru melanggengkan itu sebagai pos penghasilan ekonomi. Kita memang miskin tapi jangan jual harga diri kita demi uang. Uang bisa dicari dengan tidak merendahkan martabat dan harga diri kita.
Ketika seseorang terpilih karena menyogok masyarakat maka sangat mungkin sosok itu akan menjelma menjadi predator yang akan mematikan masyarakat secara perlahan-lahan. Saat menempati jabatan politik itu maka akan ada potensi untuk merampas hak-hak masyarakat atau dalam bahasa yang lebih kasar adalah korupsi uang negara untuk menggantikan kerugiannya. Dalam bahasa Hiedegger, orang semacam ini telah mensubsitusi cara pikir rasionalitasnya dengan insting binatang. Memang mereka memalukan, tapi sayangnya kita sebagai masyarakat ikut-ikutan memberi ruang itu dalam setiap kebiasaan kita jelang Pemilu. Kita dan mereka sama-sama memalukan karena sedang meruntuhkan bangunan moralitas dan sedang membangun budaya politik uang melalui kebiasaan-kebiasaan kita.
Kebiasaan itu terbaca melalui celoteh-celoteh kita ketika seorang calon legislatif merengsek masuk ke desa. 'Dia ada uangkah tidak?', 'Harus ada uang dulu baru kami pilih', satu kepala seratus ribu'. Contoh celoteh-celoteh di atas sedang membuat kita seperti anak domba yang siap diantar ke pembantaian akhlak.
Kebiasaan kita tersebut lama kelamaan membentuk budaya politik uang buttom up. Budaya politik uang buttom up dalam konteks ini berarti budaya politik uang yang dibangun oleh arus bawah atau masyarakat akar rumput. Budaya politik jenis ini sudah pasti akan melanggengkan politik uang top down alias politik uang yang dipraktekkan oleh para politisi busuk yang membeli suara dengan uang atau materi. Saya membahasakan dua jenis politik uang ini untuk membedakan dua arah gerakan politik uang.
Politik uang yang digerakkan dari arus bawah ke atas (buttom up) merupakan sumber daya yang paling mumpuni untuk melancarkan politik uang top down. Politik uang yang diinisiasi oleh masyarakat akar rumput akan menjadi sebuah teks yang dapat ditafsir sebagai realitas kemiskinan yang membutuhkan bantuan dan donatur untuk merangsang geliat ekonomi. Tentu saja tafsiran semacam ini akan menjadi bahan eksploitasi para elite dan bertindak nakal melalui dramatisasi kemiskinan. Dramatisasi kemiskinan ini dipentaskan dalam kamuflase bahasa korban untuk memproduksi keterpesonaan dan dukungan publik. Tidak hanya sampai di sini. Sebagai bentuk belas kasihan terhadap kemiskinan, para elite politik dengan tidak tahu malu akan menyodorkan lembaran rupiah dengan motif pembelian suara. Di sinilah praktek politik uang top down terjadi.
Ulasan di atas mendorong kita membentuk konsensus publik yang mesti dibangun pada level akar rumput. Bahwasannya politik uang top down bisa dihentikan bila masyarakat kompak menghentikan politik uang buttom up.
Saya membayangkan apabila semua kita yang tergolong dalam masyarakat kelas bawah kompak menghentikan kebiasaan buruk menerima atau meminta uang maka politik uang top down akan menemukan kematiannya dengan jalannya sendiri.
Namun sebaliknya apabila kita masih menjadikan moment Pemilu/Pilkada sebagai moment 'meminta-minta' maka sesungguhnya kita adalah aktor pendorong korupsi, perusak demokrasi, generasi yang gagal menyiapkan masa depan negeri ini bagi anak cucu kita. Kita yang gemar 'mengemis-ngemis' adalah kelompok yang setuju melacurkan hak politik kita yang sesungguhnya mulia dan luhur. Di saat bersamaan politisi yang mengail keuntungan di atas peristiwa ini akan menertawakan 'kebodohan' kita sepanjang abad. Masihkah bertahan dengan kebiasaan buruk ini? Ingat pelaku maupun penerima politik uang bisa dijerat Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017, dengan sanksi pidana yang berat.
Di ujung tulisan ini, saya memberikan gambaran bahwa para penyogok atau pembeli suara yang memanfaatkan kebiasaan buruk kita adalah para politisi yang sudah pasti tidak kompeten, akhlak buruk, calon pencuri uang rakyat, dan tak layak menjadi pemimpin atau wakil rakyat. Oleh karena itu jangan membuang suara pada orang-orang jenis ini. Semoga mencerahkan.