Dinamika diskursus tentang sistem Pemilu Legislatif terhenti ketika Mahkama Konstitusi (MK) mengetuk palu untuk diberlakukannya sistem Pemilu Terbuka.
Celoteh Denny Indrayana tentang pembocoran pemberlakuan sistem Pemilu Proporsional Tertutup dan beserta efek tuduhan publik mengenai kemunduran demokrasi dalam negara ini serentak berhenti.
Keputusan ini memberikan kebebasan bagi masyarakat pemilih untuk memilih wakilnya secara langsung. Dengan demikian masyarakat pemilih otomatis akan berinteraksi secara langsung baik dengan para calon wakil maupun partai politik.
Sebagai sebuah sistem seturut pandangan Talcott Parsons, Proporsional Terbuka memiliki komponen-komponen (sub-sub sistem) yang berinteraksi satu dengan yang lainnya mewujudkan keinginan/tujuan sistem.
Masyarakat pemilih, partai politik, aktor politik, penyelenggara Pemilu, pangawas Pemilu, dan media adalah komponen-komponen yang memanfaatkan ruang-ruang di dalam sistem untuk berinteraksi.
Ketika ada ruang interaksi yang luas maka ada kemungkinan terjadi tabrakan kepentigan yang kemudian berdampak pada disfungsi komponen-komponen. Akhirnya sistem tampak pincang.
Sistem Proporsional Terbuka dapat mengalami situasi ini. Artinya sistem ini bukanlah sebuah sistem Pemilu yang sempurna dan bebas dari nilai minus. Dalam bentangan konseptual dan jaringan teori, sistem ini memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Sistem ini memiliki derajat keterwakilan yang tinggi karena pemilih bebas memilih wakilnya yang akan duduk di legislatif secara langsung, sehingga pemilih dapat terus mengontrol orang yang dipilihnya.
Ketika masyarakat bebas memilih maka akan mendorong para kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa untuk sebuah kemenangan. Dengan demikian kedekatan antara pemilih dengan yang dipilih dapat terbangun.
Namun di balik kelebihan di atas, sistem ini memiliki sisi gelap. Proporsional Terbuka memberi peluang terjadinya politik uang yang sangat tinggi sehingga membutuhkan modal politik yang cukup besar.