Tentang peran agama di ruang publik, filsuf politik berkebangsaan Jerman, Jurgen Habermas sesungguhnya memberikan ruang bagi agama dalam pengelolaan negara. Menurutnya, agama memiliki peran sebagai basis pra-politis ruang publik. Artinya, negara tidak memiliki eksitensi jika hidup dari syarat-syarat normatif yang tidak dapat dijaminnya sendiri tanpa kehadiran agama di ruang publik. Fenomena tampilnya agama di ruang publik adalah efek dari post-sekularisasi sekaligus merupakan kritik terhadap sekularisasi dan privatisasi agama. Habermas menilai kemunculan agama dalam ruang publik adalah gejala demokrasi (Tan, 2018: 62).
Pemikiran Habermas di atas menyasar pada peran agama yang menyadarkan kita untuk berorientasi pada nilai-nilai keagamaan. Nilai-nilai tersebut sedapat mungkin dinarasikan menjadi bahasa yang dapat diterima untuk kepentingan publik. Nilai dan norma keagamaan meskipun privat namun dapat dirasionalisasikan menjadi bahasa universal sehingga menjadi pedoman moral dalam bertindak.
Nilai-nilai keagamaan mesti menjadi pegangan setiap insan terutama elit politik, elit kekuasaan dan para pejabat negara. Misalnya, nilai pelayanan harus dinternalisasikan dalam penyelenggaraan kekuasan, dengan demikian kekuasaan tidak menampilkan dirinya dalam bentuk kekerasan atau pemaksaan. Dengan spirit pendekatan nilai keagamaan, agama dimaknai sebagai mesin moral yang memproteksi elit dari godaan penumpukan harta, kemewahan dan kemegahan.
Pada aras pemahaman ini, agama dibolehkan untuk tampil di ruang publik sebagai pemegang norma yang mengawasi gerak-gerik individu. Agama hadir untuk melawan setiap bentuk kejahatan di ruang publik termasuk kejahatan politik.
Peran agama yang sakral dalam urusan politik justru dipraktekan secara berbeda di negeri ini. Agama tampak kebablasan karena sibuk mengurus mobilisasi massa dan menyusup dalam strategi kemenangan para politisi. Kelompok fundamentalis dan para politisi yang kurang percaya diri bahkan menjadikan agama sebagai kuda tunggangan untuk memenangkan kontestasi politik. Tak jarang mereka memenuhi arena politik dengan kekerasan yang dilegitimasi ayat-ayat suci agama. Akhirnya terbentuk opini publik bahwa agama seolah-olah permisif terhadap kekerasan.
Agama menemui kebablasannya karena menjangkaui batas-batas perannya sebagai penjaga moralitas. Agama sebagai produk moral mengalami stagnasi karena melanggar batas-batasnya, dan tanggung jawabnya diabaikan. Para politisi mengail keuntungan di atas kebaikan agama, dan di saat bersamaan mereka mendistorsikan kesucian agamanya sendiri. Pada situasi ini politik identitas menemukan dirinya yang paling utuh dan sempurna.
Di dalam politik identitas, agama dijadikan sebagai salah satu senjata yang paling ampuh untuk menghentikan lajunya akselerasi pejuang pluralisme, nasionalisme, dan demokrasi. Ini semua menunjukkan bahwa agama sedang digiring menuju kehancurannya. Fakta ini juga menunjukkan bahwa bangsa yang pluralistik ini sedang berada dalam krisis identitas karena dipenuhi politik identitas.
Terhadap fenomena di atas, Arendt menilai bahwa penyebabnya adalah politisi cenderung mengindentifikasi diri sebagai etnos, yakni sebagai warga komunitas lokal, atau sebagai umat dari agama dari pada sebagai warga negara (Arendt dalam Gusti A.B Menoh, 2015).
Ketika politisi berpolitik sebagai umat maka akan menghasilkan situasi politik kewargaan yang mengkhawatirkan, karena Indonesia diam-diam sesungguhnya berada dalam bahaya politik identitas. Kecenderungan ini tidak hanya berpotensi melahirkan berbagai tindakan kekerasan di tanah air, melainkan secara formal sukses menerobos ke dalam sistem politik.
Menurut Seyla Benhabib, munculnya elemen primordial seperti agama yang kebablasan di ruang publik merupakan kharakter nasionalisme yang palsu. Dia menyebutnya sebagai bentuk ethnonasionalisme. Ethnonasionalisme adalah ekspresi agama dan budaya yang memalsukan ruang publik untuk meluluskan kepentingan politik yang kemudian merusak demokrasi.