(Samber 2020 Hari 4 & Samber THR )
Ende, sebuah nama kota di pulau Flores bagian tengah yang banyak menyimpan sejarah, obyek pariwisata dan budaya. Sepintas menyebut nama Ende, pikiran orang langsung tertuju kepada tempat lahirnya ide Pancasila yang ditemukan oleh Bung Karno.
Di tempat ini pula mendiang Bung Karno menikmati masa pembuangannya pada tahun 1933-1938. Dalam tuturan temurun, Ende juga pernah menjadi sebuah kerajaan yang cukup jaya di masanya.
Ende tak asing bagi para wisatawan yang kerap memanjakan matanya dengan indahnya danau Kelimutu. Danau satu-satunya di dunia yang memiliki tiga warna yang berbeda. Di kota Ende yang mungil juga berdiri tegak sebuah gunung berbentuk meja yang kaya akan cerita rakyat.
Soal toleransi? Jangan coba-coba tanyakan itu. Ende adalah Indonesia kecil yang menjadi contoh untuk Indonesia besar. Di sana ada umat dari berbagai agama hidup rukun dan berdampingan satu dengan yang lainnya. Kemajemukan agama bukan menjadi alasan perbedaan.
Di kota ini terdapat pusat pastoral keuskupan agung Ende. Katedral tua yang sarat sejarah juga ada di sana. Selain itu di kota ini juga berdiri kokoh masjid besar Ar-Rabithah. Surau yang diagung-agungkan umat Muslim di kota mungil ini berada tepat di Kota Ratu.
Sejauh kaki melangkah, Anda akan temukan gereja dan surau yang bertebaran berdampingan di setiap sudut kota. Ada pula tempat ibadah agama lainnya yang tetap eksis dari waktu ke waktu. Tak berlebihan bila kota ini mendapat julukan kota toleransi.
Kali ini penulis ingin membahas tentang surau Ar-Rabithah di Kota Ratu. Mesjid yang sarat akan nilai sejarah ini tepat berada di jalan masjid, Kelurahan Kota Ratu, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende. Menurut sejarah, mesjid ini sering dijadikan tempat sholat oleh Bung Karno ketika menghabiskan masa pembuangannya di kota Ende.
Diceritakan bahwa setelah melakukan semadi di bawah pohon sukun (tempat ditemukannya ide Pancasila), Bung Karno langsung menuju ke Kota Ratu untuk menjalankan sholat. Jarak antara tempat persemadian Bung Karno dengan masjid Ar-Rabithah memang tak jauh, kira-kira 300 meter.
Jarak yang dekat membuat sang proklamator menjadikan mesjid tersebut sebagai rutinitas sholatnya. Dan memang pada saat itu masjid ini adalah satu-satunya masjid besar di antara musala-Musala yang lain.