Lihat ke Halaman Asli

Richardus Beda Toulwala

Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Merasionalisasikan Ketakutan

Diperbarui: 17 Maret 2020   06:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petugas medis membawa seorang pasien yang diduga terinfeksi virus misterius mirip SARS, ke rumah sakit Jinyintan, di Kota Wuhan, China, Sabtu (18/1/2020). Virus misterius mirip pneumonia telah menjangkiti puluhan orang dan menelan korban jiwa kedua di China, menurut pemerintah setempat.(AFP/STR/CHINA OUT via KOMPAS.com)

Wabah virus corona atau dikenal dengan nama Covid-19 telah mengglobal. Indonesia sekalipun bukan sebuah pengecualian atau kebal dari virus mematikan ini. Bayangkan, hanya dalam waktu satu bulan kasus corona meningkat tajam di Indonesia. 

Belum sebulan dua kasus corona di Depok (Jawa Barat) menggelisahkan warga, kini angka kasus corona menanjak menjadi 100 lebih kasus. Memang Covid-19 tak mengenal diskriminasi. Kaya-miskin, tua-muda, semuanya bakal disikat. 

Tak hanya di level masyarakat, virus ini juga sudah merambah ke istana. Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi sekalipun terpapar virus corona. Artinya, virus corona ini adalah masalah serius dan tidak main-main. Namun dengan fakta ini lantas membuat kita harus takut?

Virus Covid-19 ini ternyata bukan saja menyerang fisik manusia, melainkan juga psikis manusia. Yah, ketakutan menjadi langgeng. Di setiap sudut lokalitas, semua orang membutuhkan masker. 

Gara-gara virus ini, harga masker di Tanah Air meningkat. Lucunya, harga masker yang menanjak berbanding terbalik dengan harga diri. Ketika orang memanfaatkan wabah corona dengan menyadap keuntungan, di saat itu pula harga dirinya anjlok. Moralitas tergerus oleh 1000-2000 harga masker.

Ketakutan ini juga merambah hingga sikap dan perilaku manusia. Kebiasaan jabat tangan sejurus hilang karena takut terjangkit virus. Bahkan sapa-menyapa tak lagi lazim karena aktivitas bibir terhambat masker. Interaksi sebagai manusia dalam sosialitasnya terpaksa harus dibatasi oleh ketakutan.

Ketakutan akan virus ini pun sanggup meluluhlantakkan kesakralan ritual keagamaan. Beberapa ritual keagamaan terpaksa disesuaikan dengan potensi keterjangkitan virus corona. Bagi saya hal ini tidak salah bila dimaknai sebagai langkah antisipasi. 

Namun mungkin saja bila orang berpikir 'nakal' maka mereka bisa menyimpulkan bahwa 'Tuhan pun takut corona'. Ini argumentasi rapuh, tak perlu diperdebatkan karena sesungguhnya virus tak diskriminatif, bisa memasuki segala ruang termasuk rumah ibadah.

Seminggu terakhir ini, kehebohan di Kabupaten Lembata karena virus corona cukup menggemparkan. Perawat RSUD Lewoleba yang adalah ASN ngawur mengambil kesimpulan terhadap kedua pasien usus buntu (suami-isteri), hanya karena keduanya baru pulang dari Inggris. 

Sabtu (14/03/2020), kehebohan itu berpindah pada masyarakat Kabupaten Sikka setelah kedua pasutri tersebut dirujuk ke Rumah Sakit TC Hillers Maumere. 

Beruntung Minggu pagi (15/03/2020) Kadinkes Sikka membantah isu corona terhadap kedua pasien itu dan menyatakan bahwa mereka sesungguhnya menderita usus buntu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline