Yayasan, sebagai entitas hukum, memainkan peran penting dalam mencapai tujuan-tujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Salah satu elemen utama dalam yayasan adalah Dewan Pembina, yang memiliki tanggung jawab untuk mengambil keputusan penting yang memengaruhi jalannya yayasan. Namun, seringkali ada ketidakjelasan mengenai bagaimana memastikan keabsahan persetujuan yang diberikan oleh Dewan Pembina.
Yayasan diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Peraturan lain yang relevan termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 yang memberikan panduan lebih rinci mengenai tata kelola yayasan. Yayasan adalah badan hukum yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu dalam bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Sementara Dewan Pembina adalah organ tertinggi dalam yayasan yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan strategis dan memberikan arahan bagi jalannya yayasan.
Apakah dimungkinkan persetujuan Dewan Pembina hanya disampaikan secara lisan dan hal ini diatur dalam anggaran dasar? Sepanjang pencarian yang dilakukan pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013, tidak ditemukan adanya larangan atau batasan bentuk persetujuan dewan pembina dalam anggaran dasar. Namun, dalam hal ini Notaris sebagai pihak yang melakukan pembuatan akta pendirian yayasan atau perubahan anggaran dasar yayasan, sebaiknya memberikan saran dan konsultasi hukum yang tepat. Demi akuntabilitas dan transparansi tindakan hukum yayasan, disarankan untuk tetap melakukan persetujuan secara tertulis, meskipun tidak disyaratkan wajib berbentuk akta otentik.
Keabsahan persetujuan Dewan Pembina sangat penting untuk menjaga kredibilitas dan legalitas keputusan yang diambil oleh yayasan. Dengan memahami dan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan, yayasan dapat memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil sah dan memiliki kekuatan hukum yang kuat. Notaris dan profesional hukum juga berperan penting dalam memberikan bimbingan dan memastikan bahwa prosedur yang diikuti sudah benar.
Dalam praktiknya, hal ini menjadi relevan terutama dalam pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Misalnya, saat sebuah Yayasan melakukan penandatanganan perjanjian kredit, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), dan APHT, kemudian hendak mendaftarkan Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan. Pada beberapa kasus, Kantor Pertanahan mensyaratkan adanya Persetujuan Dewan Pembina secara otentik. Namun, seharusnya ini bukanlah suatu kewajiban, dan bentuk persetujuan Dewan Pembina tersebut harus merujuk kepada persyaratan yang ada pada Anggaran Dasar Yayasan. Setiap yayasan memiliki aturan yang berbeda dalam Anggaran Dasarnya, dan meskipun dimungkinkan ada kesamaan, namun tidak ada ketentuan baku mengenai bentuk persetujuan yang harus diikuti.
Contohnya adalah jika kita melihat klausula atau aturan dalam Anggaran Dasar bahwa: Pengurus tidak berwenang mewakili Yayasan kecuali atas dasar persetujuan tertulis dari dan/atau akta yang berkenaan turut ditandangani oleh Pembina dalam hal Meminjam atau meminjamkan uang atas nama Yayasan. Maka jika kita simak terhadap aturan ini tidak dipersyaratkan bentuk persetujuan tertulis tersebut dalam bentuk Akta Otentik, namun bisa saja berupa Surat Dibawah Tangan yang ditandatangani oleh Dewan Pembina lalu dapat disertai cap Yayasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H