Lihat ke Halaman Asli

Meretas Jalan Damai (Ambon Update, Selasa, 13/09/11 – Rabu, 14/09/11)

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Informasi Dari Pdt. Jacky Manuputty (Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Gereja Protestan Maluku)

Sejak kemarin, 13 September 2011 sampai hari ini situasi keamanan di Ambon boleh dikatakan semakin baik. Kemarin subuh saya bersama beberapa teman mencoba berjalan kaki pada beberapa ruas jalan utama untuk memantau aktifitas masyarakat, serta mengukur tingkat interaksi masyarakat di ruang publik. Di depan PHB, kami melihat beberapa anak sekolah SLTA berseragam menyeberangi jalan menuju sekolah mereka di daerah Tanah Tinggi (wilayah dominan Kristen). Mereka adalah anak-anak prajurit TNI yang tinggal di komplek PHB. Perginya anak-anak tentara ke sekolah bagi kami merupakan salah satu indikator berkembangnya situasi aman di Kota Ambon. Dalam perjalanan itu kami gembira menjumpai beberapa penjual koran eceran mulai menjajakan korannya di jalan. Begitu pula pengayuh-pengayuh becak, secara terbatas mulai melewati jalan-jalan yang sehari sebelumnya terlihat sangat sepi dan lenggang. Di beberapa pojok jalan berpapasan dengan pemuda-pemuda tukang ojek dengan wajah gembira menawarkan jasa ojek kepada orang yang lalu lalang disekitar situ. Sekalipun beberapa ruas jalan masih dipersempit, namun kami menemukan banyak pengguna jalan sudah memberanikan diri melewati wilayah-wilayah perbatasan, seperti Galunggung (Muslim) dan Galala (Kristen).

Dengan hati gembira kami memutuskan untuk mengunjungi wilayah Mardika Bawah/Halong Mardika yang terbakar sehari sebelumnya. Kegembiraan kami berangsur sirna ketika tiba di wilayah itu dan melihat sebuah rumah mulai terbakar di hadapan pemiliknya, sementara disekitarnya terlihat puluhan aparat Raiders 733 Kodam Pattimura berseliweran tanpa melakukan apapun. Anak-anak yang “dianggap” (oleh warga Mardika) membakar rumah itu terlihat memasuki rumah untuk (sekedar) memadamkannya dengan menggunakan air pada gayung-gayung kecil. Warga Mardika serta pemilik rumah hanya menonton sambil memaki-maki mereka, karena aparat tak memberi kesempatan bagi mereka untuk mengamankan rumah itu, atau melakukan pemadaman sendiri. Api terlanjur membesar dan tak ada tindakan apapun dari puluhan aparat yang menonton. Barulah 1,5 jam kemudian, datang sebuah mobil pemadam kebakaran dan menyiram sisa-sisa bara api yang masih menyala. Di jalan raya, kami temukan banyak barang peralatan rumah tangga yang diletakan oleh keluarga-keluarga disekitar wilayah situ, dalam persiapan mereka untuk mengungsi ke lain tempat. Menurut kami, sikap aparat yang demikian akan berakibat pada pelanggengan emosi yang sewaktu-waktu dapat menyulut konflik. Syukurlah bahwa disaat kejadian itu berlangsung, banyak pengendara kendaraan tetap tenang melewati daerah itu, tanpa diganggu oleh masyarakat korban yang sedang menonton rumahnya terbakar. Kesadaran masyarakat untuk tidak memperbesar konflik patut diacungkan jempol.

Sambil dipenuhi kemarahan karena melihat ulah aparat, kami meninggalkan daerah itu menuju perbatasan Batu Merah-Mardika. Disana kami memperhatikan kendaraan-kendaraan yang mulai melewati perbatasan, dan juga mengamati ekspresi penumpang kendaraan serta masyarakat sekitarnya. Merebak harapan bagi berkembangnya damai, ketika kami melihat bahwa dengan senyum tersungging banyak pengguna jalan melewati daerah itu, sekalipun kami tahu bahwa tentunya mereka menyimpan ketegangan di dalam hati. Dari pertigaan Batu Merah-Mardika kami menyusuri wilayah Belakang Soya, dan mampir sebentar untuk menjenguk para pengungsi yang menempati kantor SKB serta kantor DPR Kota Ambon yg terletak di wilayah itu. Hujan semakin deras ketika kami kembali ke kantor pada jam 12.00am. Di dalam hati kami berharap hujan turun deras hari ini, supaya kemungkinan-kemungkinan gerakan masa konflik bisa diredam.

Sekembalinya kami ke kantor, catatan berbagai issue liar sudah menunggu untuk diklarifikasi. Tentunya ini hal yang menyenangkan, karena membuktikan bahwa teman-teman aktivis perdamaian bekerja semakin intens untuk melakukan klarifikasi issue-issue liar dan provokatif lintas wilayah. Teman-teman telah bersepakat untuk mengimbangi kecepatan penyebaran issue-issue provokatif, dengan cara memperluas “provokasi perdamaian” melalui jaringan pertemanan lintas agama. Melakukan klarifikasi issue-issue merupakan salah satu agenda yang secara intens dilakukan.

Sekitar jam 2pm kami menerima telpon menggembirakan, yang menginformasikan adanya perjumpaan teman-teman KNPI Daerah Maluku di salah satu warung kopi. Pertemuan ini berujung pada kesepakatan untuk mengembangkan intensitas perjumpaan-perjumpaan di ruang publik. Sayangnya kami tak bisa menghadiri pertemuan ini, karena kami telah bersepakat melakukan pertemuan “provokasi perdamaian” lintas iman dengan teman-teman lainnya. Pada sore harinya sebuah berita gembira lainnya diterima, bahwa pada hari itu/Selasa, 13/09/2011, di Pulau Saparua, tepatnya di Negeri Siri Sori Salam/Islam, telah dilakukan Rapat Saniri Latupati/”Raja-raja adat” bersama muspika dan tokoh-tokoh agama untuk menyikapi konflik di Ambon, dan memperkuat koordinasi pengamanan Pulau Saparua. Selain perjumpaan pemuka adat & agama di Pulau Saparua, intensitas perjumpaan warga masyarakat lintas agama nampak semakin berkembang di kota Ambon. Di salah satu pusat perbelanjaan yang terletak di wilayah Urimesing, terlihat beberapa warga pemeluk agama lainnya berbelanja dengan tenang sambil, diantaranya, menggendong anak balitanya. Pemandangan serupa terlihat di restaurant cepat saji, KFC, yang berlokasi di wilayah yang sama. Beberapa pemuda lintas agama dengan santainya makan bersama sambil bercanda.

Pada jam 8pm, kembali kami memperoleh kiriman sms untuk menganalisa dan mengklarifikasi beberapa issue yang memicu ketegangan masyarakat di beberapa wilayah. Diantaranya, issue bahwa rombongan FPI telah tiba di Ambon dan merencanakan serangan fajar ke wilayah Waringin, gereja Silo, Ahuru dan Aster. Memperoleh informasi itu, teman-teman Muslim segera menyebar untuk mengklarifikasinya. Ternyata semua issue itu tak benar, dan karenanya diinformasikan kembali kepada komunitas Kristen di wilayah-wilayah tersebut. Tidak saja menyampaikan informasi, teman-teman bahkan berupaya menghubungkan Ibu pendeta jemaat GPM di wilayah Ahuru dengan teman Muslim di wilayah yang sama. Dengan begitu, mereka diharapkan dapat saling mengklarifikasi berkembangnya issue secara langsung melalui hubungan telpon. Selain issue Ahuru, diperoleh kabar juga bahwa Negeri Galala akan diserang oleh komunitas Muslim dari wilayah Aster. Banyak warga Galala segera berkemas untuk mengungsi. Ternyata issue ini tak benar, setelah diteliti oleh teman-teman Muslim. Lucunya, issue itu berkembang setelah terjadinya insiden bentrokan suami-isteri satu keluarga Kristen di wilayah Aster, diakibatkan sang suami mabuk berat. Suami yang mabuk itu kemudian mengacau dan menimbulkan kepanikan warga sekitar. Di dalam kepanikan itu, beberapa orang lalu memukul tiang listrik, yang sekaligus mendistribusikan kepanikan itu kepada warga Galala. Masih pada malam yang sama beredar issue bahwa pasukan batalion Siliwangi telah tiba di Ambon pada hari itu. Informasi yang nyatanya keliru,setelah dilakukan uji ulang. Masih banyak sekali issue yang berkembang pada malam itu, dan sebagian besar diantaranya berhasil diklarifikasi melalui jejaring persahabatan lintas batas, yang berjuang keras memprovokasi perdamaian.

Bersama dingin subuh kami tiba di rumah, setelah melewati jalanan-jalanan lenggang yang dipenuhi aparat keamanan, sepanjang ruas jalan raya Pattimura menuju daerah Batu Gantung. Beberapa mobil panser TNI berdiri angkuh memalang jalan, sementara para prajurit TNI bersenjata lengkap berjaga-jaga disekitarnya. Sisa malam itu kami lewati dengan pulas untuk menghimpun tenaga bagi pekerjaan lanjutan keesokan harinya.

Jam menunjukan pukul 10am, Rabu 14/09/11, ketika kami terbangun dan mendapati arus kendaraan telah ramai di daerah Batu Gantung. Meskipun jalanan raya memasuki daerah Waihaong masih diblokir aparat TNI, namun kami memberanikan diri untuk melewatinya dalam perjalanan menuju ke jalan raya Pattimura. Sepanjang jalan di wilayah Waihaong, kami menyaksikan warga masyarakat Muslim telah beraktifitas dengan ramai. Jalur dua arah yang baru dibuka sebagai akibat dari konflik, cukup disesaki oleh aktifitas masyarakat pagi itu. Beberapa teman Muslim yang kami jumpai dalam perjalanan itu menyapa kami dengan ramah. Sesekali kami berhenti untuk bercakap-cakap sebentar dengan mereka. Tidak terasa adanya ketegangan berlebihan disitu, bila mengingat wilayah itu merupakan tempat tinggal pengemudi ojek yang meninggal, dimana kematiannya kemudian memicu terjadinya konflik antar masyarakat. Di depan Masjid Jami’e kami menyaksikan banyak pengungsi menempati beranda masjid. Suatu fakta yang dengan jelas menginformasikan bahwa konflik “antar pemeluk agama” telah mengakibatkan kesusahan yang amat sangat bagi kedua komunitas. Tentu tak ada yang akan pernah memenangkan konflik ini, karenanya hanya tersedia satu opsi untuk diambil masyarakat, DAMAI! Syukurlah bahwa, dalam pantauan kami, mayoritas warga masyarakat menginginkannya. Konflik sebelumnya pada tahun 1999-2004 menyisakan trauma dan kengerian yang cukup panjang, bagi siapapun yang mengalaminya. Karena itu hampir seluruh warga masyarakat secara antusias mendukung, dan bahkan terlibat dalam upaya-upaya damai, sekalipun dengan kapasitas dan bentuk yang berbeda-beda. Kecuali tentunya kelompok-kelompok kecil yang berupaya mengambil keuntungan dari merebaknya konflik baru.

Pada jam 12am sampai jam 3pm, bersama beberapa sahabat lintas iman, kami menjumpai beberapa teman yang baru tiba dari Jakarta untuk kepentingan investigasi. Rupanya konflik Ambon masih menjadi magnet kuat bagi banyak teman dari luar, untuk datang dan mengamatinya dari dekat, seraya berupaya memberikan kontribusi pemikiran terkait langkah-langkah penghentian kekerasan dan upaya-upaya membangun perdamaian. Dalam percakapan bersama di dua hotel terpisah, kami melakukan pemetaan aktor lokal dan jaringannya, yang diduga kuat turut memperkeruh situasi konflik. Tanpa rasa sungkan, baik teman Muslim maupun Kristen, mengemukakan aktor-aktor lokal yang ada di komunitas masing-masing secara terbuka. Begitu pula dianalisa peran-peran mereka, yang dianggap memprovokasi peningkatan eskalasi konflik. Percakapan kami kemudian berkembang lebih luas untuk mengkaji fenomena radikalisasi, serta sebaran kelompok-kelompok radikal pada komunitas-komunitas agama di Ambon.

Sementara berlangsungnya percakapan, saya harus meninggalkan teman-teman untuk mengantarkan dua teman warga negara asing, yang akan berangkat ke Masohi dengan menumpangi kapal cepat dari pelabuhan Mamokeng di Negeri Tulehu. Bergegas saya menyewa taksi di pangkalan taksi sekitar Ambon Plaza untuk menjemput kedua teman ini di hotel yang terletak di “pemukiman Kristen.” Pengemudi taksi berasal dari negeri Tulehu, dan karenanya percakapan diantara kami menjadi menarik, terkait pandangannya dan pandangan masyarakat Tulehu terhadap berkembangnya konflik baru ini. Masyarakat Tulehu merupakan salah satu komunitas Muslim besar di Jazirah Salahutu, Pulau Ambon. Di negeri ini terletak pelabuhan besar antar pulau, yang melayani penyeberangan antar pulau dari Ambon ke pulau Seram, Nusalaut, Saparua dan Haruku. Sebagian besar komunitas dari pulau-pulau ini dihuni oleh warga beragama Kristen. Mereka sangat bergantung pada pelabuhan Tulehu sebagai tempat transit dalam perjalanan ke Kota Ambon. Selama konflik lalu, pelabuhan ini tertutup dalam jangka waktu lama, karena Jazirah Salahutu termasuk area sebaran konflik. Belajar dari pengalaman itu, maka sejak hari pertama konflik, pertemuan negeri-negeri di Salahutu telah dilakukan. Salah satu keputusannya adalah memberikan jaminan keamanan sepenuhnya bagi semua pengguna jasa pelabuhan, apapun perbedaan agamanya. Karenanya tak heran bahwa sepanjang perjalanan ke Tulehu, bung pengemudi taksi dengan bangga bercerita panjang lebar tentang ketahanan masyarakat negeri Tulehu, untuk tidak terpancing provokasi-provokasi liar yang bisa memicu konflik disana. Halmana terbukti setibanya kami disana. Para buruh pikul, serta penjaja makanan kecil, dengan ramah menawarkan jasanya bagi kami. Mereka bahkan menemani kami membeli ticket kapal untuk kedua teman saya. Setelah kedua teman ini memperoleh tempatnya di kapal, segera saya bergegas kembali ke Ambon dengan menumpangi mobil yang sama, sambil menikmati celotehan ramah pengemudi taksi ini tentang kekecewaan-kekecewaannya terhadap merebaknya konflik baru, serta harapannya pada penyelesaian konflik ini secepatnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline