[caption id="attachment_244355" align="aligncenter" width="550" caption="warga suku Maybrat Sorong mengenakan sarung produk budaya tenun ikatnya. Foto : zonadamai@worldpress.com"][/caption] Lebih dari satu abad yang lalu, ketika sebagian besar Orang Papua mengenakan koteka, rumbai dan awur, masyarakat Sorong (Papua Barat) justru telah mengenakan sarung hasil tenunan sendiri. Motif tenunannya sama dan sebangun dengan produk budaya tenun ikat orang Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Bagaimana produk tenun ikat ini bisa sama? Berikut ini hasil penelusurannya. Tenun ikat di Tanah Papua tampaknya pertama kali muncul di Kota Sorong, Papua Barat, yaitu pada suku Maybrat yang merupakan salah satu penduduk asli wilayah kepala burung Papua. Sebagian lagi adalah suku Tehit. Sedangkan Suku Moi yang terkenal dengan budaya Tato tubuh mendiami wilayah Sorong timur, khususnya di Pulau Um. wilayah kepala burung ini sedianya akan dimekarkan menjadi provinsi baru dengan nama Papua Barat Daya. [caption id="attachment_244365" align="aligncenter" width="400" caption="Yosafat Kambu (kedua dari kiri), adalah juru bicara Panitia Pemekaran Provinsi Papua Barat Daya ketika menyampaikan aspirasi pemekern di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta (17/1/2012) mengenakan motif tenun ikat Sorong. Foto : rakyatmerdekaonline.com"]
[/caption] Tenun ikat dikenal dalam kebudayaan suku Maybrat yang mata pencaharian mereka adalah berkebun, dan beternak secara sederhana. Sebagian lagi berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Suku ini dikenal berkarakter sebagai pekerja keras. Mereka menyebut sarung tenunan itu dengan sebutan Kain Timor. Mengapa disebut demikian? Konon, budaya menenun ini mulai masuk ke Papua Barat sekitar tahun 1700-an yang dibawa oleh para misionaris dan guru dari Timor, NTT. [caption id="attachment_244358" align="aligncenter" width="635" caption="Berbagai produk kerajinan bercirikan khas Papua telah berhasil diselesaikan perajin tenun di Kelurahan Kladeniak Distrik Sorong Kota. Pekerjaan ini biasanya dikerjakan setelah urusan rumah tangga selesai dapat membantu meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat. Masalah modal dan pemasaran menjadi kendala untuk membuat produk khas Papua ini dapat berkembang dengan lebih pesat. (Foto : Agus S. Budiawan; http://infopublik.kominfo.go.id)"]
[/caption] Para guru dan misionaris pendatang dari Timor inilah yang memperkenalkan kain Timor sekaligus melatih dan mendidik putra-putri setempat menenun kain tenunan Timor. Banyak perempuan Sorong kini mengenakan sarung hasil tenunan sendiri, terutama pada pesta-pesta adat di dalam kota, layaknya seperti masyarakat di pulau Timor. Sarung bermotif Timor ini juga telah menjadi mas kawin paling bergengsi dan paling mahal di kalangan masyarakat Kota Sorong. Jika sebuah keluarga memiliki semakin banyak kain tenunan, apalagi tenunan yg sdh berusia ratusan tahun, maka status sosial mereka pun semakin tinggi. Itulah sekilah riwayat kain Timor. Dan ini adalah sebuah pelajaran berharga bagi orang Papua, bahwa kehadiran warga pendatang (amber) ternyata memiliki dampak positif bagi perkembangan budaya lokal. Interaksi budaya itu perlu terus dijaga dan dikembangkan untuk mendukung proses kemajuan bangsa. Mari kita saling menghargainya.