Sejak dihapusnya "Dwi Fungsi ABRI" 20 tahun yang lalu seiring munculnya era Reformasi di segala bidang, sampai saat ini selalu saja memunculkan polemik baru yang tidak habis-habisnya.
Banyak sorotan ditujukan kepada lembaga negara ABRI (penyebutan untuk TNI/Polri kala itu) sampai banyak didengungkan ungkapan "TNI harus kembali ke barak", ungkapan itu seakan-akan menjadi "representasi suara" para aparatur sipil yang dihembuskan oleh pihak yang merasa terancam dengan kiprah TNI di lembaga tersebut.
Betapa tidak ? TNI yang lahir dari rakyat dan akan berbuat untuk rakyat selalu menjadi drive yang membentuk sejatinya TNI yang profesional. Tidak hanya mumpuni di bidang militer/bertempur melawan musuh negara tetapi juga profesional di bidang lain (kemampuan managerial, leadership, loyalitas, kejujuran, kedisiplinan, kepedulian dan banyak keahlian yang dimiliki oleh TNI).
Agaknya keahlian yang kedua ini yang menjadi "ancaman" bagi pihak-pihak yang memang merasa kurang percaya diri jika keberadaannya harus digandengkan dengan kompetensi yang dimiliki TNI.
Kita tahu pula bahwa akhir-akhir ini tersiar kabar adanya gerakan terselubung yang bernuansa komunis yang dikemas sedemikian rupa sehingga terlihat bak kelompok intelektual yang memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Dengan adanya wacana TNI masuk ke lembaga sipil, selayaknya tidak menjadi suatu ancaman bagi aparatur sipil lainya di lembaga tersebut, tetapi justru menjadi solusi tepat di saat masyarakat Indonesia membutuhkan kiprah aparatur yang profesional. TNI yang mampu memimpin, mengarahkan, loyal/setia, jujur, dan peduli terhadap lingkungan sejatinya tergambar melalui professional TNI.
Adapun pasal yang tertuang pada UU No 34 Pasal 47 ayat (2) yang berisikan bahwa prajurit dapat menduduki jabatan sipil yang membidangi bidang politik dan keamaan Negara, pertahanan Negara, Setmilpres, Intelejen Negara, Sandi Negara, Lembaga ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung. Prajurit pun dapat menduduki jabatan tersebut berdasarkan permintaan pimpinan departemen dan lembaga pemerintahan non departemen serta tunduk kepada ketentuan administrasi yang berlaku di dalam lingkungan departemen dan lembaga pemerintahan.
Jika kita mau jujur, semenjak TNI tidak diperbolehkan masuk ke lembaga sipil. Apa yang terjadi di lembaga-lembaga sipil tersebut? Carut-marutnya lembaga tersebut terlihat dari banyaknya pelanggaran yang dibuat oleh aparatur.
Lelang jabatan terjadi dimana-mana, kasus korupsi/kolusi/nepotisme semakin banyak, dan belum lagi angka pelanggaran kriminalitas yang dilakukan oleh aparatur sipil. Lantas apakah masih diragukan bahwa professional TNI yang mampu memimpin, loyal, netral dari muatan politik manapun serta peduli merupakan solusi untuk menjawab permasalahan yang terjadi?
Sudah jelas dikatakan oleh Menpan RB, bahwa masuknya Para Pati TNI di lembaga sipil tidak akan membangkitkan dwi fungsi, namun selalu saja ada pendapat kontroversial yang menyudutkan kebijakan ini. Padahal pemerintah dalam hal ini Menpan mengatakan bahwa kebijakan ini sudah berdasarkan peraturan perundangan-undangan.
Disahkan secara Undang-Undang, karena memang kebijakan tersebut menjadi solusi yang tepat untuk saat ini. Profesional TNI tidak hanya pada saat bertempur tetapi dibutuhkan saat menjawab tantangan tugas di lembaga sipil. Terlebih lagi saat ini, banyak permasalahan yang terkait dengan loyalitas, kejujuran, kepemimpinan dan kemampuan manajerial di tubuh organisasi sipil yang membutuhkan keberadaan TNI.