Lihat ke Halaman Asli

Ribut Lupiyanto

Pecinta Lingkungan dan Keadilan

Memanen Air Hujan, Menyelamatkan Masa Depan

Diperbarui: 11 September 2019   21:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap tahun berbagai bencana alam terus mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Mulai dari banjir rob, banjir luapan sungai, tanah longsor, serta bencana lainnya yang cukup variatif baik jenis, skala, maupun sebarannya. Sama halnya melihat korupsi atau kenaikan harga sembako, fenomena klasik dan rutin ini seakan telah akrab dan terkesan biasa bagi negeri ini. Banjir kerap terjadi saat musim penghujan dan kekeringan hampir pasti dialami di setiap kemarau.

Kondisi ini menjadi ironi jika melihat Indonesia yang makmur air. Air tanahnya baik dan curah hujannya termasuk tinggi. Ada satu titik temu yang cukup signifikan memengaruhi yaitu kehadiran air hujan.

Air hujan merupakan sumber daya karunia Allah SWT, namun juga tidak jarang menjadi sumber bencana. Kunci yang harus ditemukan adalah bagaimana memposisikan air hujan agar kembali pada fungsi asalnya sebagai sumber karunia. Ketika penghujan bisa aman dari banjir dan saat kemarau bahkan bisa surplus air.

Kondisi Ironi

"Terlampau banyak atau terlampau sedikit air akan merusak dunia " mungkin pepatah ini cukup tepat menggambarkan kondisi lingkungan kita. Selama ini langkah yang dilakukan berbagai stakeholders masih kurang terintegrasi dan cenderung responsif. Pemecahan masalah masih responsif, terbatas bagaimana menyuplai air saat kemarau atau bagaimana menolong korban saat banjir. Hal itu tidak salah, namun masih kurang visioner dan belum solutif.

Secara meteorologis, kondisi musim mempunyai siklus yang dapat dijadikan referensi bagi upaya antisipatif permasalahan sumber daya air yang berjangka panjang. Kurangnya air saat kemarau dan melimpahnya air saat penghujan merupakan variabel yang saling berhubungan.

Tingkat perkembangan wilayah yang cukup pesat ternyata menyisakan ekses terhadap kondisi lingkungan. Wilayah telah berkembang secara ekonomi namun mundur secara ekologis. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan pola hidup masyarakat telah memicu terjadinya krisis lingkungan termasuk krisis air. Sebagai daerah yang seharusnya makmur air, namun terjadi suatu ironi yakni adanya bencana banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Pertumbuhan pesat penduduk telah meningkatkan konversi lahan dari lahan terbuka ke lahan terbangun yang mengakibatkan kerusakan ekosistem di daerah aliran sungai (DAS) dan peningkatan aliran permukaan. Faktor inilah penyebab utamanya.

Pemerintah daerah umumnya bersikap sempit dengan memberi solusi bagi kekeringan hanya dengan menambah suplai air atau mengatasi banjir dengan perbaikan drainase saja. Itupun masih egosektoral dan lemah optimalisasi hasilnya.

Panen Air Hujan

Kodatie (2004), menyebutkan selama ini diprediksikan 25 % air hujan menjadi aliran mantap sisanya terbuang ke laut. Aliran mantap tersebut terdiri dari air tertahan serta yang tertampung waduk dan daerah retensi. Inilah cadangan air sumber kebutuhan kehidupan. Sedangkan yang mengalir ke laut adalah terbuang percuma saja.

Mengatasi permasalahan air, tentunya bagaimana meningkatkan aliran mantap tersebut. Untuk itu tidak bisa tidak, Run-off yang selama ini hanya terbuang percuma, perlu dikelola dengan baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline