Isu besar kependudukan yang telah dan bersiap dihadapi Indonesia adalah hadirnya Bonus Demografi sesuai proyeksi UN World Population Prospects (2002). Periode terjadinya bonus demografi dikenal dengan istilah jendela peluang (the window of opportunity). Bonus Demografi artinya rasio ketergantungan usia non produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) pada usia produktif (15-64 tahun) semakin kecil.
Proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035 menguatkan bahwa bonus demografi akan berlanjut, jendela peluang melebar, dan angka ketergantungan 47 per 100 pekerja. Lembaga Demografi FEUI (2014) memprediksikan bonus demografi masih tetap berpotensi membuka peluang pemanfaatan. Salah satunya untuk kepentingan demokrasi, seperti Pemilu legislatif (pileg), Pemilu Presiden (Pilpres), dan ataupemilu kepala daerah (pemilukada) jika akan tetap langsung.
Peluang Bonus
Potensi bonus demografi selama ini masih terbatas dimaknai sebagai peluang yang harus dimanfaatkan guna mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Selain bagi ekonomi, bonus demografi memberi peluang juga terhadap sektor politik, khususnya dalam hajatan demokrasi.
Penangkapan peluang bonus demografi bagi pemilu menjadi kepentingan dua komponen, yaitu peserta dan penyelenggara pemilu. Peserta pemilu akan mendapatkan peruntungan elektoral dengan menempatkan bonus demografi sebagai lumbung suara. Penyelengara pemilu mendapatkan peluang untuk kepentingan peningkatan partisipasi pemilih.
Bonus demografi yang paling potensial adalah kehadiran pemilih muda dan pemula. Penduduk berusia 45 tahun ke bawah diprediksi mencapai 60 persen dari populasi pada Pemilu 2014 kemarin. Data KPU juga menunjukkan Pemilih pemula yang berusia 17 sampai 20 tahun sekitar 14 juta orang (7,57 %). Sedangkan yang berusia 20 sampai 30 tahun sekitar 45,6 juta jiwa (24,65%).
Usia produktif mayoritas memiliki tingkat pendidikan yang baik. Artinya, golongan ini akan menjadi pemilih kritis dalam pemilu. Mereka juga melek teknologi yang berpeluang banyak menyerap informasi.
Golongan usia produktif rentan terhadap apatisme politik yang berbuah golput. Fenomena golput menjadi momok menakutkan dalam pencapaian kualitas penyelenggaraan pemilu. Angka partisipasi pemilu sejak era reformasi terus mengalami penurunan. Misalnya partisipasi Pilpres 2004 putaran pertama sebanyak 78 persen, sedangkan di putaran kedua menurun menjadi 75 persen. Selanjutnya di Pilpres 2009 tingkat partisipasi pemilih sebanyak 72,10 persen dan Pilpres 2014 menurun lagi ke angka 70,03 persen.
Golongan usia produktif bisa berubah menjadi pemicu hadirnya pemilu yang suram jika angka pengangguran atau ekonomi lemah tinggi. Kondisi ini akan memicu merajalelanya praktik politik uang. Politik uang sebagaimana dipahami akan menjadi bibit korupsi di negeri ini. Penduduk miskin, hingga Januari 2014, tercatat 28,55 juta jiwa atau 11,47 persen. Angka ini berpotensi menjadi sasaran empuk politik uang.
Strategi Antisipasi
Siklus bonus demografi atau disebut “Golden Age” baru akan berulang 500 tahun. Jika peluang itu tidak ditangkap periode kini, maka akan menunggu 5 abad lagi. Dalam konteks kepentingan pemilu dan pilkada, bonus demografi dapat diantisipasi demi pencegahan bencana demokrasi.
Pertama, kontestan demokrasi mesti menangkap peluang bonus demografi sebagai pasar potensial. Hadirnya sekitar 54% pemilih pemula dan muda penting disikapi menjadi target lumbung suara. Konsekuensinya gaya komunikasi dan pendekatan mesti menyesuaikan selera golongan muda. Kedua kelompok ini menanti visi dan agenda baru dari kontestan. Beragam media dapat dioptimalkan terutama media sosial yang sedang menjadi trend. Kontestan pilpres memiliki tanggung jawab pendidikan politik agar golongan ini tidak apatis dan mau memberikan suara.
Golongan menengah ke bawah juga penting digarap selama kampanye. Kontestan hendaknya tidak menangkap peluang dengan aji mumpung, seperti cara instan melalui politik uang. Kontribusi penting mengutamakan pemberian kail daripada ikan. Program yang ditawarkan mesti realistis dan menyentuh perut kelompok ini.
Kedua, penyelenggara pesta demokrasi mesti menangkap peluang bonus demografi untuk kepentingan partisipasi pemilih. Sosialisasi kepada pemilih pemula dan muda penting digencarkan. Media yang digunakan mesti menarik dan variatif, seperti melalui seni, olahraga, komunitas, media sosial, dan lainnya. Penyelenggara pemilu juga berkewajiban melakukan pendidikan politik demi penguatan kualitas partisipasi. Kerjasama dapat dikembangkan dengan sekolah, perguruan tinggi, komunitas pemuda, LSM, dan lainnya.
Ketiga, pemerintah mesti menangkap peluang bonus demografi untuk kepentingan pembangunan. Hal ini secara tidak langsung akan berkontribusi agar bonus demografi memberi berkah bagi demokrasi. Adioetomo (2014) memaparkan bahwa bonus demografi dapat dinikmati melalui harmonisasi kebijakan penurunan laju pertumbuhan penduduk dan peningkatan produktivitas pekerja. Perbaikan ekonomi diharapkan dapat meminimalisasi politik uang.
Bonus demografi semestinya tidak sekadar dimanfaatkan untuk eksploitasi suara. Ada tanggung jawab pendidikan politik dan komitmen kebijakan perbaikan demografis. Hal ini menuntut komitmen, integritas, dan sinergisme antar stakeholder politik. Jika hal ini tidak dilakukan, maka bonus demografi akan berpotensi menjelma menjadi bencana demokrasi. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H