Beberapa waktu lalu terjadi polemik kasus Flo di Jogja dan Kemal di Kota Bandung. Pelaku yang dijuluki Flo Kedua ini adalah pemilik akun twitter @kemalsept. Pemilik akun ini diduga seorang laki-laki bernama Kemal Septiandi yang berstatus mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Kembang.
Kemal melalui akun twitternya berkicau menghina Kota Bandung dengan sebutan kota yang penuh pelacur. Tidak hanya satu kali, Kemal tercatat melakukan 4 kali kicuan berisi penghinaan terhadap Kota Bandung dan Walikota Bandung. Buntut kata-kata bernada hinaan tersebut, membuat Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil geram dan berjanji melaporkannya ke Kepolisian.
Flo dan Kemal sama-sama dianggap telah melanggar Pasal 27 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Internet dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Ancaman pidana pasal 45(1) KUHP adalah pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar Rupiah.
Pro dan Kontra
Dinamika budaya virtual memang sangat cepat dan efeknya luas. Hal ini tidak luput dari kecanggihan teknologi, banyaknya netizen, dan budaya digital yang semakin kental. Netizen di Indonesia selama periode 1998-2014 tercatat mengalami pertumbuhan rata-rata 37,54 persen setiap tahunnya. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Kemenkominfo mencatat di tahun 1998 pengguna jasa internet di Indonesia baru berada diangka 500 ribu netizen atau hanya sekitar 0,25% dari jumlah penduduk Indonesia. Selanjutnya jumlah netizen meningkat signifikan di 2014 menjadi 82 juta pengguna atau sekitar 33,35% dari jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai 245 juta jiwa.
Aksi Kemal dan reaksi Ridwan Kamil mendapatkan tanggapan pro dan kontra dari netizen (warga dunia maya) maupun masyarakat umum. Mayoritas netizen dan warga Bandung mengecam kicauan amoral Kemal.
Bedanya dengan Flo di Jogja yang berkicau lantaran tragedi di SPBU, kicauan Kemal ini belum diketahui motifnya. Beberapa menduga disebabkan efek psikologi lingkungan seperti Flo dengan stres menyikapi kesemrawutan dan buruknya layanan Kota Bandung. Tidak sedikit pula yang menuduh hanya rekayasa mencari sensasi semata.
Reaksi pelaporan Ridwan Kamil sebagaimana pelaporan Flo di Jogja juga mendapat banyak tentangan. ICT Watch mengecam dengan alasan penggunaan UU ITE dapat menyebabkan kekhawatiran untuk berekspresi dan atau berbeda pendapat di internet karena adanya ancaman sanksi legal dari negara. Di sisi lain kebebasan berekspresi dan berpendapat telah diatur dan dilindungi oleh konstitusi.
AJI juga memandang UU ITE tidak lagi memadai dijadikan sandaran bagi tata kelola internet yang adil dan demokratis untuk mengatur kebutuhan masyarakat sipil, industri, dan pemerintah. Dalam sejumlah kasus, UU ITE malah jadi bumerang bagi kebebasan berpendapat di ruang publik. AJI mendesak pemerintah dan DPR mencabut UU ITE dan menggantinya dengan UU Tata Kelola Internet. AJI juga mendesak dibentuknya komisi independen yang memiliki kewenangan dalam memutuskan sengketa di internet.
Selanjutnya Dekan Fakultas Hukum Unpad, Dr. Sigid Suseno, memberikan beberapa catatan terkait UU ITE yang harus diperhatikan. Misalnya terkait masalah penghinaan dan pencemaran nama baik yang ada di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU ITE. Akan tetapi ancaman hukumannya berbeda, lebih berat yang tercantum di UU ITE. Ke depan perlu dirumuskan masalah pidana apakah harus masuk ke UU Tata Kelola Internet. Sebagai contoh di Jerman dan Belanda, tindak pidana termasuk cybercrime masuk di KUHP, tidak perlu UU tersendiri.
Flo dan Kemal bukanlah korban pertama UU ITE. Sampai awal tahun 2014 ada 30 orang yang dijerat menggunakan UU ITE yang disahkan pada tahun 2008. Beberapa kasus yang paling menyita perhatian publik diantaranya adalah kasus yang menimpa Prita Mulyasari dan Benny Handoko.
Revitalisasi Etika Netizen
Belajar dari banyak kasus termasuk Kemal ini, maka mendesak perlu dilakukan gerakan revitalisasi etika netizen di dunia maya. Secara umum etika yang mestinya disadari netizen sama dengan etika di dunia nyata.
Pakar media sosial, Nukman Luthfie mengungkapkan bahwa tidak ada yang tertutup di media sosial. Oleh karena itu, masing-masing metizen harus menjaga postingannya. Beberapa hal dapat diperhatikan supaya kasus Florence dan Kemal tidak terulang . Pertama adalah pikir dulu atau berhati-hati dalam update status. Kedua dengan menjauhi media sosial saat kondisi marah sehingga rentan kehilangan kontrol dalam sesaat. Ketiga, jangan menyebarkan kebencian melalui status orang yang sedang marah.
Suka tidak suka UU ITE memang sudah berlaku dan menjadi hak terhadap siapapu untuk menggunakannya. Hanya saja seorang pemimpin penting berpikir seribu kali sebelum melaporkan kasus kekerasan virtual menggunakan UU ini. Belajar dari kasus Flo, penting bagi Ridwan Kamil selaku Walikota mengikuti jejak Sri Sultan HB X yang memaafkan Flo.
Tantangannya adalah bagaimana memberikan efek jera bagi pelaku tetapi tanpa pendekatan pidana. Kemal sudah mendapatkan sanksi sosial berupa kecaman mayoritas netizen. Penutupan akun twitter Kemal dapat dimaknai sebagai rasa malu dan tanggung jawab Kemal yang kewalahan menghadapi kecaman. Langkah lain yang dapat dilakukan adalah pendekatan kekeluargaan. Ridwan Kamil sebagai pemimpin dapat bertemu langsung dan memberikan pendidikan kepada Kemal. Hal ini akan lebih elegan dan diprediksi banyak simpati. Sikap bijak dari pemimpin diuji dalam kasus Flo dan Kemal ini. Apapun itu semoga hasilnya adalah yang terbaik baik bagi perbaikan etika netizen serta penguatan kebebasan berekspresi secara bertanggung jawab.(*)
(Dimuat di Kolom Oponi KABAR BANTEN Edisi 13 Oktober 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H