Lihat ke Halaman Asli

Ribut Achwandi

TERVERIFIKASI

Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Ketika Sastra Bukan Lagi Domain Guru Bahasa Indonesia

Diperbarui: 16 Juli 2024   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ILUSTRASI | KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Hawa udara siang itu memaksa saya minum es teh jumbo dua gelas plastik ukuran besar. Padahal, kipas angin yang terpasang di dinding ruang kerja sudah disetel pada angka paling tinggi. Tetapi, rasa-rasanya tak cukup mampu mengusir rasa gerah.

Belum selesai dengan masalah hawa udara, rupa-rupanya ada yang tiba-tiba mengajak diskusi lewat japrian. Otomatis, isi kepala bakalan panas nih! Tapi, tak mengapa toh diskusinya juga seru, walau hanya lewat berbalas pesan singkat via WhatsApp.

Semula, penjapri yang mohon maaf tidak bisa saya sebut namanya itu mengirim sebuah potongan video. Tampak pada potongan video itu wajah Prof. Dr. Bambang I. Sugiharto, guru besar di bidang filsafat kebudayaan, Universitas Katolik Parahyangan. Beliau sedang berceramah mengenai pentingnya membaca novel.

Kemudian, penjapri yang seorang guru di salah satu sekolah di kawasan selatan Pekalongan itu menyusulkan teks pesan. 

"Bagaimana mengenalkan NOVEL pada Gen TikTok?" begitu tulisnya. 

Pertanyaan itu membuat saya tertarik dan tertantang untuk menyampaikan argumentasi. Setidaknya, memberikan jawaban-jawaban logis yang dapat diterima oleh sahabat saya yang satu ini.

Benak saya berpikir, karena sahabat saya ini seorang guru, jawaban saya tentunya mesti bersentuhan juga dengan dunia yang digelutinya. Saya ketik saja, "Lewat pembelajaran di sekolah, Pak guru. Kalau tidak dipaksa lewat jalur pendidikan formal agaknya sulit."

Jawaban itu spontan saja saya tuliskan. Belum terbesit tentang topik yang beberapa waktu lalu sempat menghangat, yaitu tentang Sastra Masuk Kurikulum. 

Yang saya pikirkan, karena ruang yang paling memungkinkan untuk melakukan hal itu adalah sekolah. Memang, bisa juga di keluarga alias rumah. Akan tetapi, dalam rabaan hitungan saya, peluang itu terlalu kecil dan nyaris mustahil dilakukan. 

Sebab, tidak banyak masyarakat negeri kaya dongeng ini yang memiliki koleksi buku novel di rumahnya. Dalam satu kampung, jumlahnya tidak melebihi jari di kedua tangan. Bahkan, mungkin saja dalam satu kampung tak satu pun rumah yang mengoleksi buku novel. Apakah itu salah?

Saya tidak bisa menyalahkan. Juga tidak bisa menganggap hal itu sebagai sesuatu yang benar. Tetapi, saya kira memaksa keadaan yang sudah kadung krodit agar kembali pada rel yang semestinya juga akan sangat sulit. Maka, salah satu jalan yang bisa dilalui adalah dengan melahirkan kebiasaan baru kepada generasi selanjutnya. Mengapa begitu?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline