Telinga orang Pekalongan tentu tak asing dengan kata "palango". Dalam ujaran sehari-hari, kata ini kerap diucapkan komunikator (penyampai pesan) untuk memberi peringatan kepada komunikan (penerima pesan) yang akan melakukan suatu tindakan. Entah mau pergi ke rumah teman, ke pasar, berangkat sekolah/kampus, menghadiri acara, dll.
Contoh:
Langité mêndhung, payungé palango gawa
Langit mendung, payungnya jangan lupa dibawa
Lawangé sakpalango disosi, mbokan klayah
Pintunya dikunci, siapa tahu ketiduran
Mangkaté palango digasiki, mbokan macèt dalan
Berangkatlah lebih awal, siapa tahu jalan macet
Pada konteks lain, kata "palango" juga dapat dimaksudkan untuk menyampaikan sebuah nasihat. Akan tetapi, nasihat yang disampaikan lebih mengarah pada sesuatu yang jauh di masa depan. Dengan begitu, kata "palango" boleh dibilang sebagai ungkapan yang visioner.
Contoh:
Palango luru sangu sing akèh sakdurungé ndéhwé mulih ning ngarsané Gusti Allah
Carilah bekal sebanyak mungkin sebelum kita pulang ke rahmatullah
Ngajiné palango disrêgêpké manèh bèn kêna nggo sangu ning akhèrat
Tingkatkan lagi ngajinya untuk bekal kelak di akhirat
Tapi, tahukah Anda darimana asal-usul kata "palango"?
Dari aspek bahasa, "palango" terbentuk dari kata (dalam bahasa Jawa disebut tembung) "palang" yang diberi akhiran/sufiks (dalam bahasa Jawa disebut panambang) "-o". Bentuk kata "palango" juga dapat dikategorikan sebagai gabungan kata. Tepatnya, gabungan kata terikat. Mengapa bisa begitu? Karena dua unsur pembentuknya memiliki kelas kata yang berbeda. "Palang" merupakan kata (tembung). Sementara "-o" merupakan partikel atau akhiran/sufiks (panambang).