Lihat ke Halaman Asli

Ribut Achwandi

TERVERIFIKASI

Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Bersabar Saat Berhadapan dengan Pedagang Pasar yang Jutek

Diperbarui: 9 Januari 2024   18:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi situasi pasar tradisional (sumber foto: kompas.com)

Kira-kira, limabelas tahun silam, peristiwa ini saya alami. Ketika itu, istri saya tengah mengandung jabang bayi anak pertama kami. Sebagai calon ibu, tentu ia ingin segala sesuatunya dipersiapkan dengan matang. Khususnya, kebutuhan untuk si jabang bayi. Lantas, di pagi yang masih cukup dingin udaranya, ia meminta saya mengantarnya ke pasar. Niatnya pingin beli kebutuhan untuk keperluan si jabang bayi saat lahir nanti. Tidak lain, yang kami tuju adalah lapak pakaian dan perlengkapan bayi.

Sekian lorong kami lalui, melintasi beraneka dagangan yang dijajakan. Sampai akhirnya tiba pula di salah satu lapak yang menjual keperluan bayi. Transaksi terjadi. Si penjual menawarkan harga barang jualannya. Dirasa masih cukup mahal, istri saya menawar. Aksi tawar-menawar harga pun berjalan cukup alot. Si penjual tak mau menurunkan harga. Istri saya masih kukuh dengan pendiriannya. Harga yang ditawarkan penjual baju bayi itu masih tergolong mahal.

Saking alotnya, tawar-menawar itu berakhir dengan ketidaksepakatan harga. Tidak ada kata deal! Hanya ada yang bikin nganyel. Si penjual itu tiba-tiba berkata, "Mbak... Mbak, isi dompetmu tuh berapa sih? Kalau nggak punya duit ya mbok jangan pingin yang neko-neko!"

Mendengar itu, saya terperanjat. Kaget sekaligus kesal. Nyaris marah. Bukan karena kata-katanya, melainkan karena itu diucapkan dengan nada sinis dan merendahkan. Ingin rasanya saya membantah. Jika perlu, membuatnya malu.

Tetapi, amarah itu redam. Saya lihat istri saya tampak santai saja. Tak menggubris ucapan si penjual itu. Meski sebenarnya sempat pula saya lihat ia seperti ngedumel. Ia berlalu begitu saja. Langkahnya dibikin lambat. Menyengaja. Lalu, tak jauh dari lapak si penjual yang galak itu, kami melihat ada lapak lain. Hanya berjarak dua lapak dari penjual tadi.

Langkah kaki istri saya semakin diperlambat. Pura-pura mencari barang-barang lain di sepanjang deretan lapak yang ada. Tetapi, ia tak juga menawar dan tak juga memilih-milih barang yang ada di dua lapak itu.

Sesampai di depan lapak berikutnya, istri saya berhenti. Sengaja berdiri di depan lapak. Tidak segera masuk. Mulailah ia memilih-milih barang, kemudian bertanya soal harga, membandingkannya dengan harga lapak yang sempat ia sambangi untuk barang-barang yang sama.

Barulah tradisi tawar-menawar menjadi ritual yang harus terlaksana. Harga yang ditawarkan istriku tidak bergeser dari harga yang ditawarkan di lapak sebelumnya. Si penjual kali ini responsnya cuma senyam-senyum. Sempat juga ia bilang ke saya, "Istri Mas pinter banget nawarnya. Nritik."

Ucapan itu sama sekali tak membuatku marah. Sekalipun sebenarnya agak tersinggung juga. Karena memang, istri saya suka menawar-nawar harga. Sebagai laki-laki, rasanya gimana gitu. Ada sedikit rasa malu bercampur jengkel. Tapi begitulah istri saya. Katanya, "Menawar itu seni!"

Saya hanya bisa menghela napas sambil mengelus dada. Sabaaar... sabar... ini ujian. Harap tenang. Jangan sampai terbawa emosi karena urusan tawar-menawar. Berat. Betapapun beratnya, tetap kudu dilakoni. Kudu kuat.

Beberapa kali istri saya njawil. Menanyakan apakah barang yang dipilihnya itu bagus apa tidak. Sekadar menyenangkan hatinya, saya jawab saja bagus. Tak berhenti di situ. Ia kemudian menanyakan pula berapa harga yang mau ditawarkan. Saya kasih saja patokan, agar ia menawar harga sepertiga dari harga yang ditawarkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline