Lihat ke Halaman Asli

Ribut Achwandi

TERVERIFIKASI

Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Senopati Noyontoko

Diperbarui: 29 Oktober 2023   20:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gambar (sumber: rekayasa digital)

Pulau Jawa tak ubahnya selembar daun yang hijau ranum. Mengundang kawanan ulat, mengeripnya. Sampai-sampai lembaran daun itu susut.

Begitulah, yang terjadi ketika Raden Mas Jatmiko menaiki tahta kesultanan Mataram. Mula-mula para saudagar asing yang singgah di Pulau Jawa betah tinggal di sini. Lama-lama mereka membangun pusat kekuasaan dagang baru di tepi barat Jawa, Batavia. Sementara, sepanjang sisi utara Jawa yang membentang dari barat ke timur sedikit demi sedikit mereka kuasai.

Sungguh, itu adalah ancaman besar bagi kesultanannya. Wilayah kekuasaan Mataram akan berkurang, kewibawaan istana akan pudar dan redup. Perniagaan Mataram pun akan terjajah oleh kekuatan para saudagar asing itu.

"Tidak ada kerja sama dengan mereka. Tidak! Sebab, yang mereka inginkan adalah menguasai tanah Jawa. Maka, tidak ada cara lain, selain melawan! Kalau tidak, nasib rakyat Mataram jadi taruhan," tegas sang Sultan.

Keputusan telah diambil. Titah dijatuhkan. Tak ada yang perlu ditimbang-timbang. Prajurit Mataram dihimpun. Kekuatan disusun. Dikerahkanlah prajurit-prajurit pilih tanding itu menuju wilayah pesisir utara Jawa.

Adalah Ki Gedhe Noyontoko, seorang senopati yang memimpin sepasukan prajurit Mataram untuk menyusul prajurit pimpinan Ki Ageng Bahureksa di Pekalongan. Di atas pelana kuda, ia tampak gagah dan berwibawa. Berjalan bersama ribuan prajurit, menyusuri hutan, gunung, dan menyeberangi sungai-sungai berbatu.

Setiap melintas jalan desa, barisan prajurit Noyontoko disambut penuh hormat. Lebih-lebih sang senopati. Bagi sebagian besar orang, nama Noyontoko tak asing di telinga. Jauh sebelum memimpin prajurit Maratam, Ki Gedhe Noyontoko sudah begitu melekat di hati mereka. Ia kerap hadir di tengah-tengah warga. Mengajarkan cara bercocok tanam, mengajarkan cara membaca tanda-tanda alam, merancang sistem pengairan, dan sesekali mengajarkan hukum-hukum agama. Kepada yang muda, ia tak berkeberatan hati mengajarkan seni bela diri dan cara menempa logam menjadi berbagai persenjataan dan peralatan yang serba guna.

Kini, di hadapan ribuan prajurit, Ki Gedhe Noyontoko dengan lantang berseru, "Prajurit! Inilah saatnya menjalankan janji setia kita kepada kesultanan Maratam. Menjaga tanah moyang kita dari segala macam gangguan. Dan ketahuilah, penguasaan wangsa Mleca atas Batavia adalah ancaman yang mengganggu tanah Jawa. Mereka telah merusak tatanan! Untuk itu aku serukan, perang ini adalah perang suci demi tegaknya keadilan! Maka, tak ada kata mundur walau sejengkal! Mengerti?"

"Sendika dhawuh!" serempak prajurit menyahut.

"Sekarang, berangkatlah!" perintah Kiai Gedhe Noyontoko.

Derap langkah kaki ribuan prajurit Mataram itu menggetarkan. Dengan tubuh gagah yang dibalut seragam keprajuritan, mereka berbaris begitu rapat, membuat prajurit Mataram tampak berwibawa. Demikian halnya Ki Gedhe Noyontoko yang berada di antara barisan prajurit berkuda. Kharismatik dan anggun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline