Menurut Anda, manakah yang berguna, sebongkah batu atau sebutir debu? Pertanyaan itu boleh saja Anda anggap tidak penting. Apalagi ketika Anda sudah punya jawaban, bahwa sebongkah batu itu lebih punya manfaat ketimbang sebutir debu.
Memang, jawaban Anda tidak salah. Sebab, sebongkah batu bisa digunakan untuk berbagai macam keperluan. Sedang sebutir debu, rasa-rasanya sulit membayangkan bagaimana cara memanfaatkannya. Ya kan?
Tetapi, bagaimana jika Anda sekarang ini dihadapkan pada kenyataan lain; bahwa sebutir debu jauh lebih berguna dibandingkan sebongkah batu? Anda mungkin saja tak percaya. Sebab, hal itu sulit dinalar.
Untuk alasan itu, tak ada salahnya jika Anda sejenak menempuh perjalanan lintas waktu. Menjelajah masa lampau yang kaya akan catatan-catatan penting. Salah satunya, manuskrip Jawa Klasik yang ditulis oleh seorang pujangga Keraton Surakarta, R.Ng. Yosodipuro I. Judulnya, Serat Dewa Ruci.
Sebelum ke babagan Serat Dewa Ruci, ada baiknya juga kita mengenal penulisnya. Beliau, R.Ng. Yosodipuro I, adalah putra dari Raden Tumenggung Padmanegara (Bupati Pekalongan di era Sultan Agung). Selain sebagai pujangga Kasunanan Surakarta, Yosodipuro I juga dikenal sebagai seorang ulama, ahli strategi, dan diplomat ulung dalam urusan kenegaraan.
Nah, Serat Dewa Ruci yang ditulis R.Ng. Yosodipuro I pada mulanya merupakan saduran dari Serat Syekh Malaya karangan Sunan Kalijaga. Serat ini awalnya merupakan lakon carangan dari lakon pewayangan. Diambil dari kisah epos Mahabharata. Oleh R.Ng. Yosodipuro I, kisah ini juga telah mengalami pengislaman. Bahkan, kisah Dewa Ruci sangat dekat dengan ajaran tasawuf.
Singkat cerita, dalam Serat Dewa Ruci, Bima bertemu dengan Dewa Ruci di dasar samudra. Kala itu, Bima sedang menjalankan tugas dari gurunya, Resi Drona, untuk mencari tirta maya atau tirta merta yang hanya bisa ditemukan di kayugung susuhing angin. Bima sempat kaget melihat sosok Dewa Ruci yang secara fisik mirip dengan dirinya. Lantas, terjadilah perbincangan panjang di antara mereka. Saat itu pula, Dewa Ruci menyingkap rahasia tentang diri Bima yang sesungguhnya. Namun, Bima tak begitu saja percaya.
Untuk meyakinkan Bima, Dewa Ruci kemudian meminta Bima agar masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci. Namun, Bima belum sepenuhnya yakin itu bisa dilakukan. Apalagi tubuh Dewa Ruci tampak lebih kecil dari tubuh Bima yang tinggi besar.
Dewa Ruci mesem ngandikaris
gedhe endi sira lawan jagad
kabeh iki saisine
alas myang gunungipun
samodra lan isine sami
tan sesak lumebuwa
ing jro garbaningsun
Wrekudara duk miyarsa
esmu ajrih kumel sandika turneki
mengleng Sang Ruci Dewa
Lantas, diperintahlah Bima untuk masuk tubuh Dewa Ruci melalui telinganya. Dan, Bima terkejut bukan kepalang, manakala ia berada di dalam tubuh yang kecil Dewa Ruci itu, ia saksikan alam raya yang demikian luas tak terkira. Bima terheran-heran dan kebingungan. Lebih-lebih, ketika Dewa Ruci kemudian muncul di hadapannya dengan tubuh yang menguarlah cahaya terang.
Saat itu pula, Dewa Ruci menyampaikan beberapa pengetahuan tentang hakikat diri sang Bima dari sisi batinnya. Bahwa cahaya terang yang disebut Pancamaya itu adalah cahaya terang hatinya yang selalu membimbing. Selama ini, keragu-raguan dan ketakutan yang Bima rasakan, karena Bima tak pernah mendekati cahaya itu. Maka, Dewa Ruci pun meyakinkan Bima agar selalu mengikuti bimbingan cahaya yang terpancar di dalam hatinya.