Lihat ke Halaman Asli

Ribut Achwandi

TERVERIFIKASI

Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Empat Pemuda Desa Didikan Industri Pendidikan

Diperbarui: 6 September 2023   17:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KOMPAS.com/ANDREAS LUKAS ALTOBELI

Siaran saya malam itu di Radio Kota Batik sungguh mengesankan. Selain karena topik yang saya bahas, yaitu mengenai komunitas sastra di pedesaan, juga karena bintang tamu yang hadir. Mereka adalah anak-anak muda yang berasal dari desa nun jauh di selatan kota, di kawasan bukit dengan akses jalan yang menanjak dan masih cukup sulit dilewati. Masih di pulau Jawa.

Empat orang, jumlah mereka. Semuanya menyandang predikat sebagai mahasiswa. Hanya, warna jas almamater mereka berbeda satu sama lain. Kota tempat kampus mereka berdiri pun berjauhan. Pekalongan, Semarang, Jogja, dan Surakarta.

Kontan, pertanyaan pertama yang meluncur dari mulut saya tentu saja mengenai cara mereka berkoordinasi dan menguatkan kebersamaan, sementara mereka berjauhan. Jawab mereka membuat saya tak menyana-nyana. "Lho, kan teknologi komunikasi sekarang sudah canggih, Kang. Jadi, kami selalu berkoordinasi melalui gawai," kata salah seorang dari mereka.

Tak selesai di situ, ia kemudian menjelaskan bagaimana mereka mengelola komunitas. "Kami bagi tugas. Yang ada di desa bertugas ngopeni anak-anak muda di desa. Sementara yang di luar kota, bertugas memperluas jaringan dan menjalin kerja sama dengan anak-anak muda di kota rantauan. Mereka bisa belajar dari pengalaman di luar kota, menyebarluaskan informasi mengenai keberadaan komunitas, dan membangun relasi, Kang."

Jawaban yang mengesankan. Saya bahkan tak sempat memiliki gagasan brilian seperti itu. Tetapi, agar diskusi malam itu menghangat, saya mengasah pertanyaan agar lebih menukik tajam. Saya tanyakan lagi pada mereka, berapa lama mereka akan bertahan? Sebab, biasanya, yang namanya LDR-an itu bisa bikin hubungan berakhir di tengah perjalanan. Faktornya, bisa sangat variatif. Modusnya, bisa dicari-cari.

Seperti sebuah bola, pertanyaan itu tak langsung mereka jawab. Mereka saling pandang. Seolah sedang bermain lempar-tangkap. Satu melempar, yang lain menolak, melemparkan lagi pertanyaan kepada yang lainnya. Kemudian, ditolak lagi dan dilempar lagi. Cukup lama pemandangan itu saya saksikan.

Tak tega menyaksikan itu, saya tangkap bola pertanyaan itu, lalu menyimpannya dalam laci pikiran. Kemudian, saya ambil bola pertanyaan lain dari laci pikiran. Kulempar lagi pertanyaan baru, "Boleh diceritakan seperti apa sastra di desa kalian?"

Kali ini, mereka seperti mendapatkan suatu permainan yang sangat mereka sukai. Mereka memain-mainkan bola pertanyaan itu. Satu per satu menggiring bola pertanyaan itu dengan jawaban-jawaban yang lincah. Menggelindingkan bola ke segala arah. Kemudian, mengoper ke yang lain. Kadang mereka menyudulnya. Kadang dengan tendangan datar saja. Kadang pula tendangan melambung. Sesekali mendribel bola dengan kaki. Betapa lincah mereka memainkan bola pertanyaan itu, laiknya seorang pemain bola free style.

Jawaban mereka bergerak bebas. Menguasai semua sisi, semua sudut, bahkan tak menyisakan celah sedikit pun. Tetapi, ada bagian yang sepertinya mereka lupa. Bahwa panggung yang mereka bayangkan adalah panggung lain. Panggung yang dipenuhi gemerlap warna-warni lampu yang membentuk konfigurasi beragam rupa. Mereka menukar tata cahaya alami yang biasa mereka saksikan di desa asal tiap langit menggelap dengan bola-bola lampu yang dialiri ribuan watt daya listrik. Mereka menempatkan kerlip lampu minyak dan obor yang biasa digunakan dalam berbagai acara di desa asal mereka hanya sebagai elemen dekorasi.

Desa Tombo, Kab. Batang (dok pribadi) 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline