Krisis moneter yang menjangkiti perekonomian Indonesia pada kurun 1997-1999 memberi dampak besar bagi kehidupan masyarakat. Tidak terkecuali masyarakat Kota Pekalongan. Ketika itu ribuan buruh pabrik terpaksa dirumahkan karena perusahaan tempat mereka menggantungkan nasib bangkrut.
Kendati begitu, sebagian besar dari mereka tak kurang akal. Tak ingin terpuruk oleh keadaan, mereka lekas-lekas banting setir. Mencari peruntungan lain dengan bekerja sebagai penarik becak.
Seakan menemukan kebangkitannya, laju kendaraan bertenaga manusia berbahan bakar keringat dan dengusan napas ini mendenyutkan roda ekonomi masyarakat Pekalongan.
Kendaraan tradisional ini mendadak ramai berlalu lalang di jalanan kota. Seolah-olah mengaliri jalan-jalan itu kesegaran baru, memberi kegairahan tersendiri bagi pertumbuhan ekonomi yang saat itu lesu. Becak, kala itu, seakan menjadi jawaban bagi tantangan zaman.
Bagaimana tidak, keberadaan becak yang ramai di jalanan tak sekadar memberi angin segar bagi para korban PHK untuk mendapatkan peruntungan sebagai tukang becak. Akan tetapi, juga memompa semangat para pengusaha bengkel becak. Pun memberi kegairahan bagi toko-toko material penyedia bahan baku dan suku cadang becak. Tak luput pula, bengkel karoseri becak.
Ada dua kawasan yang kala itu bergairah menyambut kebangkitan becak. Yaitu, Landungsari dan Kuripan Lor. Dua kelurahan yang berada di wilayah dua kecamatan yang berbeda. Yakni, Pekalongan Timur dan Pekalongan Selatan.
Meski demikian, dua kelurahan itu bertetangga. Sebab, Landungsari menempati posisi di perbatasan selatan kawasan Kecamatan Pekalongan Timur. Sedang, kelurahan tetangga, yaitu Kuripan Lor, berada di ujung utara kawasan Kecamatan Pekalongan Selatan.
Kedua kelurahan ini di era 70-90an dikenal sebagai sentra perbengkelan. Mulai dari bengkel las, sepeda, maupun bengkel mobil. Bengkel becak, sudah tentu termasuk di dalamnya. Di Landungsari, terdapat dua bengkel becak yang cukup memegang peran penting dalam produksi dan reparasi becak.
Sementara di Kuripan Lor, terdapat dua bengkel becak pula. Yang pertama, boleh dibilang sebagai induk produksi becak. Sementara lainnya, khusus menangani karoseri becak, seperti pengecatan selebor, aksesoris becak, dan lain-lain.
Keempat bengkel itu tidak berdiri sebagai saingan. Keempatnya saling berjejaring dan saling bekerja sama, walau tak ada teken kontrak di antara keempat pemilik usaha bengkel becak itu. Malah, tidak jarang mereka juga bekerja sama dengan bengkel mobil segala.
Artinya, kegairahan becak kala itu telah membentuk ekosistem ekonomi yang tidak semata-mata sebagai mata pencaharian. Akan tetapi, juga membangun sebuah sistem kepercayaan satu sama lain di dalam mengembangkan usaha secara bersama-sama.