Lihat ke Halaman Asli

Ribut Achwandi

TERVERIFIKASI

Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Sastra Jawa Merantau di Bali

Diperbarui: 20 Juli 2023   02:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi naskah lontar (sumber: kompas.com)

Minggu kedua bulan Oktober 2019, saya menyempatkan diri ke Bali. Berlibur? Mungkin iya. Tetapi, sebenarnya nggak berlibur-libur amat. Ada undangan dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali sebagai peserta Simposium Internasional Sastra Indonesia 2019.

Semula, ketika mendapatkan undangan itu, saya tertarik untuk ikut hadir. Meski begitu, ada banyak hal yang mesti saya pertimbangkan. Terutama, soal ongkos ke Bali. Tetapi, istri saya memaksa. Ia ingin agar saya tetap menghadiri perhelatan itu. Apalagi setelah ia mendengar cerita saya tentang perhelatan yang bergengsi itu.

Meski dipaksa, saya tetap enggan. Uang di tabungan tak cukup. Kalau mau ngutang lagi ke kantor, tak enak. Kalau mau mencari donatur, apalagi. Tambah nggak enak lagi. Karena, apa kontribusi keikutsertaan saya itu untuk donatur itu?

Sampai mendekati hari H, tiba-tiba sebuah pesan masuk ke email saya. Isinya pemberitahuan pemesanan tiket Garuda untuk perjalanan pergi-pulang atas nama saya. Rasanya aneh. Saya tak pernah memesan tiket. Terus siapa yang membelikannya?

Rupanya, orang yang membelikan tiket itu adalah istri saya. Heran dengan kenyataan itu saya tanyakan padanya, darimana uang untuk beli tiket itu. Ia jawab, dari tabungannya.

Tidak hanya tiket pesawat, rupanya ia belikan juga tiket kereta api untuk perjalanan ke Semarang, pergi pulang juga. Oh! Saya tentu tak bisa menolak. Saya ikuti saja keinginan istri saya itu. Saya berangkat ke Bali untuk menyenangkan hatinya.

Memang, sebenarnya soal ongkos, dari dulu kami (saya dan istri saya) sepakat, kalau masih bisa membiayai diri sendiri, kami akan biayai sendiri segala keperluan. Tetapi, jika tidak mampu, kami tak mau memaksakan diri. Kesepakatan itu kami ambil karena beberapa kejadian yang saya kira tak perlu saya ceritakan di sini.

Baiklah, sepertinya saya lanjutkan saja tulisan ini dengan melompati beberapa kejadian. Saya langsung saja menuju Bali, pulau dewata.

Singkat cerita, selama di Bali, saya ikuti acara demi acara Simposium Internasional itu. Saya dan semua peserta dari berbagai daerah plus tamu dari beberapa negara, selain mengikuti rangkaian kegiatan yang sifatnya agak akademis itu juga dikelilingkan ke tempat-tempat wisata Bali. Sangat menyenangkan memang. Apalagi ini kali keduanya saya ke Bali setelah 21 tahun tak menengok Bali.

Nah, di hari terakhir helat itu, seluruh peserta diajak mengunjungi pura terbesar di Bali, Besakih. Di atas laju armada bus yang membawa kami ke tujuan, terjadilah sebuah obrolan yang menarik antara saya dengan Jero Arum (dalang wayang Bali). Mula-mula, Jero Arum menanyakan tentang eksistensi Sastra Jawa di pulau Jawa, khususnya di kota tempat saya tinggal, Pekalongan.

"Kang, sampeyan kan orang Jawa, hidup di Jawa, saya mau nanya, sekarang sastra Jawa di Jawa gimana? Masih ada?" tanya Jero Arum dengan ramah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline