Lihat ke Halaman Asli

Ribut Achwandi

TERVERIFIKASI

Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Membaca Ulang Sastra Jawa, Membaca Laku Hidup Manusia Jawa

Diperbarui: 2 Juli 2023   05:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat bersiaran bersama mas Mirza Rofiq di program Kojah Sastra (dok.pribadi)

Setiap kelompok masyarakat memiliki kekayaan budaya yang diwujudkan ke dalam berbagai bentuk penyajiannya. Karya sastra dalam berbagai macam genre merupakan salah satunya. 

Tentu, di dalam karya sastra itu terdapat nilai-nilai luhur, ajaran-ajaran penting bagi masyarakatnya. Terutama, dalam melangsungkan hidup dan memberi makna pada kehidupan.

Pada masyarakat Jawa, sastra hidup dan terus berkembang beriringan dengan sepak terjang zaman yang berubah-ubah. Meski begitu, bukan berarti karya-karya sastra yang lama (klasik maupun kuno) tidak diperlukan lagi. 

Sebaliknya, karya-karya sastra lama Jawa patut dibaca ulang untuk menemukan kembali spirit budaya Jawa di tengah-tengah kehidupan yang serba global, kehidupan yang nyaris kehilangan batas di segala bidang.

Memang, untuk membaca ulang karya sastra lama Jawa bukan persoalan mudah. Memerlukan tarikan napas panjang dan kesiapan untuk "melawan arus" perubahan zaman. Apalagi ketika harus dihadapkan pada kenyataan, bahwa sebagian besar masyarakat Jawa mulai meninggalkan tradisi kesusastraannya, bahkan menanggalkan budayanya. Mereka bahkan rela bertukar pakaian budaya.

Modernitas---sebagai budaya kekinian dengan jargon materialismenya---bak pakaian baru yang menawarkan kemewahan. Kerlap-kerlip budaya modern yang kini mencapai masa puncaknya, mampu memperdaya sebagian besar masyarakat. Mengira, jika hal itu adalah tujuan yang esensial. Padahal, yang ditawarkan oleh era puncak modern semata-mata permainan simbol. 

Makna simbol-simbol itu diserahkan secara bebas kepada tiap-tiap individu modern untuk menentukan maknanya. Biasanya, didasarkan atas cara pandang yang emosif.

Perayaan kebebasan ini boleh jadi merupakan yang dicita-citakan oleh hampir sebagian besar umat manusia di seluruh muka bumi. Akan tetapi, kebebasan yang demikian bisa saja berpotensi menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. 

Segala macam aturan dan hukum bisa saja diabaikan. Lebih-lebih, manakala fungsi negara dan pemerintahan ditempatkan sebagaimana tanda-tanda yang lainnya; sebagai simbol semata.

Singgasana kekuasaan---dalam keadaan yang demikian---meradang. Dieksploitasi oleh para penguasa. Sekadar menjadi tempat meletakkan pantat para penguasa yang sibuk menjalankan fungsinya sebagai pialang. Ia bukan lagi menjadi tempat bagi dunia pemikiran untuk merancang masa depan yang lebih baik.

Akibatnya, tatanan sosial kacau. Diperparah dengan cara pandang masyarakat yang teramat pragmatis, hingga seolah-olah kehilangan daya hidup. Masyarakat, pada gilirannya sangat menggantungkan nasib mereka pada "jasa kebaikan".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline