Lihat ke Halaman Asli

Ribut Achwandi

TERVERIFIKASI

Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Pesantren Salaf Penjaga Tradisi Sastra, Pewaris Tradisi Keilmuan

Diperbarui: 28 Juni 2023   14:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siaran Kojah Sastra di Radio Kota Batik, Pekalongan, bersama Gus Haidar (dok.pribadi)

Mungkin perguruan tinggi di Pekalongan, khususnya perguruan tinggi non agama, patut berpikir keras sebelum akhirnya kena mental. Perannya sebagai lembaga pendidikan formal kelas tinggi bisa saja tergeser oleh pondok pesantren, khususnya pesantren salaf. Mengapa bisa begitu?

Anda pasti sudah tidak sabar untuk mengetahui jawabannya. Iya kan? Sabar, saya tidak akan memberikan jawaban secara langsung. Saya akan ajak Anda menyelami apa yang dikisahkan Gus Haidar, seorang santri alumni Pondok Pesantren Amtsilati-Jepara, saat saya undang sebagai bintang tamu di program siaran Kojah Sastra di Radio Kota Batik.

Lewat pengalamannya, saya menangkap kesan bahwa ternyata pondok pesantren itu lembaga pendidikan yang mendidik para santri dengan sungguh-sungguh. Di sana, para santri benar-benar digembleng untuk dapat menguasai kitab-kitab yang dibelajarkan. Tidak mengherankan segala macam kecakapan berbahasa (meliputi membaca, menulis, menyimak, dan berbicara)---khususnya bahasa Arab---tak sekadar diajarkan, melainkan mentradisi.

Sampai di sini mungkin Anda masih beranggapan bahwa hal itu tidak jauh beda dengan perguruan tinggi umum. Sah-sah saja Anda berpandangan seperti itu. Tetapi, sependek ingatan saya, pembelajaran di perguruan tinggi umum (khususnya di Pekalongan) cenderung tidak memiliki bahan bacaan yang spesifik untuk dipelajari. Buku-buku yang dianjurkan sekadar menjadi referensi. Sayangnya, buku-buku itu cenderung berupa buku-buku pengantar alias bukan buku induk.

Tak heran, setiap mahasiswa mengalami kebingungan saat menyusun skripsi atau karya tulis ilmiah lainnya. Terutama, ketika harus berhadapan dengan uraian teoretis yang mesti mereka susun secara rapi sehingga mampu dijadikan sebagai piranti analisis. Begitu pula ketika mereka mesti merancang metode penelitian yang akan mereka jalankan bagi penelitian mereka.

Salah satu alasan yang kerap muncul dari mahasiswa tingkat akhir, karena ketersediaan buku-buku induk teori sangat terbatas. Bukan hanya jumlahnya, melainkan pula karena kapasitas perpustakaan yang sangat terbatas.

Tanpa bermaksud membandingkan, mari kita lihat bagaimana Cambridge University menyediakan fasilitas perpustakaan. Dalam satu kampus sebesar Cambridge, setidaknya ada lebih dari 100 gedung perpustakaan, 33 di antaranya adalah perpustakaan fakultas.

Hebatnya lagi, di dalam perpustakaan itu terkoleksi jutaan bahan bacaan dari berbagai rumpun keilmuan. Sudah begitu, tiap tahun perpustakaan ini juga menerima lebih dari 100.000 item dari para donatur. Selain bahan-bahan bacaan, perpustakaan Cambridge University juga menjadi tempat menyimpan arsip-arsip penting.

Artinya, untuk mengelola sebuah perguruan tinggi sekelas Cambridge University, perpustakaan adalah jantungnya perguruan tinggi. Dengan kata lain, ketersediaan bahan bacaan dan pengelolaan arsip yang baik menjadi kebutuhan yang mutlak terpenuhi. Tujuannya, tidak lain untuk membangun tradisi akademik yang baik pula.

Memang, Anda berhak berkilah, bahwa itu di luar sana. Tidak bisa disamakan dengan daerah ini. Anda juga berhak mengatakan, budaya akademik di sana dan di sini berbeda. Kita tak harus mengkiblat pada mereka.

Oke. Memang seharusnya begitu. Kita tidak mengkiblat pada mereka. Akan tetapi, saya kembali teringat sebuah pernyataan yang disampaikan oleh Wardiman Djayanegara (Mentri Pendidikan dan Kebudayaan RI 1993 -- 1998) dalam Kuliah Umum Peningkatan Sastra dan Budaya (6 Desember 2018) di Jakarta. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline