Lihat ke Halaman Asli

Ribut Achwandi

TERVERIFIKASI

Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Sastra, di Pesantren Lebih Terhormat Dibandingkan di Perguruan Tinggi

Diperbarui: 26 Juni 2023   05:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para santri tengah bercengkerama sambil membaca kitab (lokasi: Ponpes Girikusumo-Mranggen, Demak, dok.pribadi)

Gus Haidar memang bukan seorang penyair. Bukan pula seorang prosais. Apalagi seorang penulis naskah drama. Ia hanya seorang santri jebolan pondok pesantren Amtsilati-Jepara yang pernah mengenyam pendidikan di STAI Imam Syafi'i, Cianjur, Jawa Barat. Kini, ia menjadi seorang ustaz di desa kelahirannya, Samborejo, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan.

Sehari-hari ia mengajar di sebuah madrasah. Ia juga kerap mengisi kelas-kelas bahasa Arab. Terutama, di Sokola Sogan (sebuah lembaga pendidikan berbasis komunitas warga yang didirikan oleh Komunitas Omah Sinau Sogan). Saya salah satu murid beliau.

Tetapi, ada satu hal menarik tentang beliau. Dalam sebuah obrolan ringan, sempat saya tanyakan kepada beliau mengenai pengajaran sastra di pondok pesantren yang menjadi tempat tempaannya. 

Pertanyaan itu muncul, karena saya penasaran, seperti apa model pembelajaran di pondok pesantren. Apakah di sana diajarkan sastra atau tidak? Sebab, sependek yang saya tahu, kitab-kitab yang ditulis para ulama besar biasanya memiliki gaya sastra yang khas. Selain itu, para ulama besar tidak jarang pula menuliskan kitab khusus yang berisi syair-syair.

Berangkat dari asumsi yang gambling itu saya lantas berpikir, agaknya menjadi fatal akibatnya jika sastra tidak diajarkan di pondok pesantren. Apalagi, kitab-kitab klasik yang para santri pelajari berbahasa Arab. Kalaupun diterjemahkan secara tekstual, tanpa mengindahkan kaidah bahasa dan gaya bahasa, mungkin saja akan terjadi mispersepsi atau bahkan misinterpretasi.

Belum lagi, sejumlah kitab karya ulama juga tak jarang memuat kisah-kisah. Tentu saja, untuk dapat menangkap maksud dari kisah-kisah itu dibutuhkan pendekatan yang interpretatif. Teks dan konteks mesti diulas dan dikaji secara mendalam.

Pertanyaan-pertanyaan itu saya ajukan kepada Gus Haidar ketika suatu malam, di tengah perjalanan dari Jogja ke Pekalongan. Tepatnya, setelah saya dan kawan-kawan Omah Sinau Sogan sowan ke kediaman Ketua Lesbumi, Mas Kiai Jadul Maula dan Mbah Toto Rahardjo (pentolan Kiai Kanjeng).

Oleh Gus Haidar, pertanyaan itu dijawab dan diulas tuntas. Ia mengaku, bahwa selama belajar di pondok pesantren, pelajaran sastra---khususnya sastra Arab---merupakan pelajaran wajib. Bahkan, itu diberikan selama 8 semester. Meski begitu, ia mengakui pula, kajian-kajian sastra di beberapa pesantren tidak terlalu menonjol. 

Jawaban itu membuat saya takjub. Sebab, itu sangat di luar dugaan. Semula, saya mengira bahwa di tempat Gus Haidar nyantri tidak akan dikenalkan apa itu sastra. Yang makin membuatku takjub adalah pelajaran sastra itu diberikan 8 semester. Padahal, saat berkuliah di STAI Imam Syafi'i -- Cianjur, ia tercatat sebagai mahasiswa program studi Hukum Keluarga Islam. Lalu, mengapa ia diberi pelajaran sastra?

Gus Haidar lantas mengisahkan perjalanannya selama nyantri. Di pesantren, kata Gus Haidar, tradisi membaca kitab sangat dianjurkan. Bahkan, wajib. Membaca kitab menjadi keharusan bagi para santri. Membaca menjadi keterampilan yang mutlak dikuasai oleh para santri.

Bagi saya, tradisi ini keren. Apalagi di tengah-tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi seperti sekarang ini. Gambaran itu sangat berbalik arah dengan institusi pendidikan formal, khususnya perguruan tinggi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline