Selasa malam (7/12/2021) saat saya membawakan program siaran Classic Rock di Radio Kota Batik, saya menampilkan profil penyanyi rock cewek asal Amerika, Janis Joplin. Saya sangat tertarik dengan rocker cewek yang satu ini. Terutama, kehidupan pribadinya yang secara implisit disuarakan lewat karya-karya musiknya.
Memang, selain penyanyi, ia juga dikenal sebagai seorang penulis lagu cum komposer, khususnya untuk musiknya sendiri. Bahkan, kalau Anda sempat menyimak beberapa lagu karyanya, Anda akan menangkap kesan bahwa setiap lagu yang digubahnya adalah suara jeritan hatinya yang terdalam. Lengkingan suara soprannya yang serak itu terasa seperti sayatan pada hati. Perih.
Apalagi ketika lengkingan-lengkingan itu menekankan pada beberapa kata tertentu dalam liriknya. Seolah menunjukkan protesnya yang keras atas perlakuan-perlakuan yang ia pernah terima di masa kanak-kanak hingga remajanya.
Janis Joplin terlahir di sebuah keluarga yang konservatif. Ia tinggal di sebuah lingkungan yang baginya kurang memberi keleluasaan ruang gerak. Ia juga kerap menerima perlakuan yang tak mengenakkan. Mendapatkan perisakan, dikucilkan, dan dijauhi. Tak pelak, di masa remaja, ia mulai melakukan "pemberontakan".
Ia berubah menjadi seorang gadis yang sangat mudah bergaul dengan siapa saja. Bahkan, ia pun sempat memiliki banyak teman berandalan. Menurutnya, teman-teman berandalan jauh lebih bisa menerima ia apa adanya. Berbeda jauh dengan teman-teman lain, mereka lebih memilih-milih teman mereka dengan standar tertentu.
Lewat pergaulannya dengan para berandalan itu pula akhirnya Janis Joplin berkesempatan mengenal dunia seni. Ia mulai menyukai blues, sastra, dan terutama sekali puisi. Di dunia seni ini pula ia merasa menemukan dunianya yang sesungguhnya. Ia merasakan kebebasan untuk menyuarakan apa saja yang selama ini terasa mencekat tenggorokan. Ia suarakan dengan ronta yang bernada dan mengalun bersama melodi gitar, dialirkan dengan chord-chord yang dimainkan keyboard serta hentakan drum yang ditingkahi nada rendah bass.
Musik menjadi dunianya yang ia pilih kemudian, setelah ia memutuskan D.O dari kampusnya. Terlebih, ia tak nyaman dengan kehidupan kampus yang membuatnya kerap mendapatkan perisakan. Ia pernah dijadikan bahan olok-olok di majalah satire kampus dengan menyebutnya sebagai "laki-laki terjelek di kampus" hanya karena dandanannya yang dinilai tak mencerminkan seorang gadis.
Dengan pilihan hidupnya yang baru, ia berusaha membuktikan kepada orang tuanya, bahwa apa yang ia pilih bukan sebuah kekeliruan. Usaha itu agaknya berbuah. Terutama, saat ia dijuluki sebagai Queen of Blues.
Meski begitu, ia tak bisa mengelak dari dunia gelap. Narkoba sempat menjadi bagian dari hidupnya. Mula-mula sebagai bentuk pelarian atas segala hal yang dideranya; kesepian, keterasingan, dan rasa tak berdaya. Sampai pada akhirnya ia terjerat oleh obat-obatan terlarang itu. Ia berhenti mengonsumsi obat-obatan setahun sebelum ia hembuskan napas terakhirnya.
Kisah Janis Joplin, bagi saya, sangat inspiratif. Terutama, berkenaan dengan rasa kesepian, keterasingan, dan rasa tak berdaya. Umumnya, orang akan cenderung menyerah pada keadaan. Lalu, pura-pura bahagia di dalam ketertekanan tanpa mampu melawannya.
Tetapi, Janis Joplin tidak. Ia malah berani menunjukkan dirinya apa adanya. Ia bahkan mampu menyuarakannya. Sampai pada puncaknya, ia merasakan betul kemerdekaan atas dirinya sendiri. Ya, menjadi pribadi yang merdeka bukanlah sesuatu yang mudah dicapai. Acapkali orang-orang merasa gagal menemukan kemerdekaan atas dirinya sendiri. Ada banyak alasan, tentunya. Salah satu yang kerap muncul, tuntutan hidup.