Lihat ke Halaman Asli

Ribut Achwandi

TERVERIFIKASI

Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Membaca adalah Wujud Cinta

Diperbarui: 18 Juli 2022   03:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto: kompas.com

Setimbang dengan sebuah pengembaraan, seseorang yang pergi jauh meninggalkan tanah kelahirannya dan tiba di suatu kota yang tak ia kenali sebelumnya, ia akan merasa asing. Lebih-lebih ketika ia dihadapkan dengan pemandangan dan bentuk kehidupan yang sama sekali berbeda dengan tanah kelahirannya. Sudah pasti ia akan terkejut dengan apa-apa yang ada di hadapannya.

Mungkin heran, karena semua yang berlaku di kota singgahnya itu tidak sama dengan asalnya. Mungkin kagum, karena segala yang ditemuinya dirasa lebih baik dari tempat asalnya. Mungkin pula merasa tak nyaman, sebab apa yang berlaku di kota singgahnya itu pemandangan yang tidak pantas untuk ia saksikan.

Segala bentuk tanggapan itu amatlah wajar. Ia belum mengenal betul tempat yang ia singgahi. Tetapi, bagi seorang musafir sejati, apapun kenyataan yang dihadapinya, di tempat-tempat ia singgah, akan diterima dengan lapang dada. Kenyataan yang ia saksikan pada hakikatnya adalah buah-buah pelajaran kehidupan. Maka, tak pandang apakah rasa buah itu manis, asam, atau pahit, ia tak segan untuk memetik dan merasakannya. Dari situlah, lantas segala makna akan ia peroleh.

Tersebab itu, seorang musafir sejati adalah orang yang di dalam perjalanannya senantiasa berusaha mengakrabi segala hal yang dihadapinya. Sekalipun asing, ia tidak merasa terasing. Ia berusaha mengenali apa saja yang ada di hadapannya. Membaca tiap peristiwa yang dihadapinya sebagai tanda-tanda.

Begitulah seorang musafir sejati. Pada hakikatnya, ia adalah seorang pencinta. Sebab, salah satu tanda cinta seseorang adalah kesanggupannya dengan sungguh-sungguh untuk terus mengenali apa saja yang ia temui. Berusaha menemukan makna yang berlapis-lapis dari sebuah peristiwa. Berusaha untuk terus setia menjadi seorang pembaca yang baik.

Dan, seorang pembaca yang baik adalah ia yang tekun membaca segala hal. Bukan agar ia menjadi pintar semata-mata, bukan pula agar ia memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas. Akan tetapi, agar ia menjadi pribadi yang bijaksana.

Demikian pula dalam hal rasa cinta kepada Kanjeng Nabi Muhammad saw. Seseorang yang mencintai beliau, semestinya sangat haus akan pengetahuan tentang beliau. Dalam kehausannya akan pengetahuan itu, ia akan sungguh-sungguh untuk menggali pengetahuan tentang manusia mulia yang amat dicintainya itu.

Tidak cukup hanya dengan menyimak tuturan kisah-kisah mengenai Kanjeng Nabi. Ia akan mencari sumber-sumber bacaan tentang kisah hidup dan pribadi Kanjeng Nabi. Tidak hanya dengan bacaan tentang kisah-kisah beliau, seorang pencinta juga akan berusaha mempelajari tiap-tiap bacaan itu dengan tekun hingga menemukan makna di balik setiap peristiwa dalam kisah-kisah itu. 

Ia juga akan berusaha sedapat mungkin membayangkan dan merasakan bagaimana jika ia berada dalam peristiwa-peristiwa yang dikisahkan. Sampai akhirnya ia mengerti, bagaimana pikiran dan perasaan orang yang dicintainya itu dalam mengarungi samudra kehidupan. Bagaimana pula pikiran dan perasaan orang yang amat ia cintai itu ketika menyaksikan apa yang terjadi di masa kini.

Maka, menjadi penting bagi umat Islam, khususnya lagi bagi jamaah Majelis Taklim Al Maliki Pekalongan, untuk senantiasa menyediakan waktu membaca kisah dan hadits-hadist beliau. Jika perlu, bahkan memang sangat diperlukan, tiap-tiap butiran mutiara dari ucapan ataupun perbuatan beliau itu dikaji secara mendalam. Bukan untuk membuat dada kita mudah membusung karena merasa memiliki cukup pengetahuan, lalu sekadar dijadikan alat untuk beradu pendapat, melainkan untuk menambah rasa cinta kita kepada Kanjeng Nabi Muhammad saw. dengan segenap penghayatan yang penuh.

Kita sadar, bentangan masa antara kita dengan Kanjeng Nabi teramat jauh. Sulit rasanya kita bayangkan. Sulit pula untuk kita jangkau. Tetapi, selayaknya kita masih harus bersyukur, bahwa untuk melintas di atas titian waktu itu, ada banyak sahabat, para tabi' dan tabi'in, juga para imam, yang garis sanad keilmuannya terus menyambung sampai kepada para ulama, habaib, maupun para kiai hingga kini. Di antara mereka, orang-orang alim dan soleh, banyak pula kitab-kitab yang mereka tulis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline