Seorang pensiunan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), Willem van Der Mollen, dalam sebuah webinar berkisah tentang pengalamannya membaca naskah-naskah Jawa Kuno. Ia mengaku terkagum-kagum dengan apa yang ia baca. Sampai-sampai, ia mengulang-ulang ucapan kata 'spektakuler'.
Bagi saya, istilah 'spektakuler' yang diucapkannya berkali-kali itu bukan sebuah ungkapan yang biasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata itu sebagai menarik perhatian; mencolok mata. Dengan begitu, apa yang ia baca benar-benar menarik perhatian. Lalu, apanya yang menarik perhatian?
Ada banyak hal. Sebagaimana ia sebutkan, naskah-naskah sastra Jawa Kuno---terutama yang ditulis para pujangga abad ke-9---merupakan sebuah temuan canggih. Naskah-naskah itu tidak lagi ditulis dengan bahasa Sanskerta, melainkan dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno, bahasa orang Jawa pada masa itu.
Willem menyebutkan, cara itu sebagai cara yang berani. Sebab, pada masa itu, bangsa-bangsa lain di kawasan Asia Tenggara belum mampu menuliskan karya sastra mereka dengan bahasa mereka sendiri. Padahal, mereka juga punya bahasa sendiri.
Penggunaan bahasa Jawa Kuno dikatakannya sebagai lompatan besar. Karena dengan demikian, masyarakat Jawa pada era itu telah memosisikan bahasa Jawa sejajar dengan bahasa Sanskerta. Seperti diketahui, bahasa Sanskerta pada masa itu merupakan bahasa yang memiliki kedudukan tinggi. Ia tak hanya sebagai bahasa dalam kesusastraan, melainkan pula sebagai bahasa filsafat dan ilmu pengetahuan. Pemosisian bahasa Jawa Kuno yang menggeser fungsi bahasa Sanskerta, dengan begitu menjadi sebuah diplomasi budaya yang brilian.
Meski begitu, pemosisian ini tidak lantas menghilangkan bahasa Sanskerta. Sebaliknya, kedudukan bahasa Sanskerta masih tetap dihormati dan dijunjung tinggi. Setidaknya, bahasa itu digunakan sebagai bahasa-bahasa ritual, bahkan tak jarang pula didudukkan sebagai salah satu penyumbang kekayaan kosakata bahasa Jawa Kuno.
Saya tak bisa membayangkan, bagaimana kira-kira peristiwa yang berlaku pada masa itu. Tetapi, sebagai orang Jawa, saya merasa hal itu sebagai sesuatu yang monumental.
Di satu sisi, pemosisian bahasa Jawa menjadi sebuah tawaran yang boleh jadi sangat politis. Yaitu, ingin menunjukkan bahwa masyarakat Jawa pun memiliki identitas yang harus diakui oleh dunia saat itu. Sebuah cara yang dilakukan untuk menunjukkan bahwa bangsa Jawa adalah bangsa yang sama besar dan memiliki kedaulatan.
Di lain hal, kalau boleh meminjam fenomena yang berkembang hari ini, pemosisian bahasa Jawa kala itu merupakan sebuah langkah menginternasionalkan bahasa Jawa sekaligus sebagai upaya untuk menggalang kekuatan bersama bangsa-bangsa lain di dunia. Atau dengan kata lain, dengan pemosisian itu bangsa Jawa berusaha berkawan dengan bangsa-bangsa lain di dunia, menjadi bagian dari persahabatan bangsa-bangsa dunia.
Tentu, selain bahasa yang diangkat, aksara pun ikut serta. Dalam hal ini, aksara Jawa Kuno didudukkan sejajar pula dengan aksara Dewanagari (aksara yang digunakan untuk menuliskan lambang-lambang bahasa Sanskerta).
Ini sekaligus meneguhkan bahwa bangsa Jawa di masa itu merupakan bangsa yang tak buta aksara. Dan, bangsa yang tak buta aksara menandakan pula bangsa yang maju. Memiliki sumber daya manusia unggul, para pemikir, cendekiawan, bahkan teknokrat yang luar biasa.