Lihat ke Halaman Asli

Ribut Achwandi

TERVERIFIKASI

Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Kenapa Cerita Fiksi Perlu Dikaji?

Diperbarui: 4 Oktober 2021   05:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: iapwe.org

Ada pertanyaan menarik dari seorang teman tentang fiksi. Dia bilang begini, "Kenapa sih cerita-cerita fiksi itu mesti dikaji dan diteliti? Apa nggak cukup dibaca atau diperdengarkan saja? Apa nggak buang-buang waktu dan energi kalau fiksi dikaji? Kan jelas-jelas fiksi?"

Mendengar pertanyaan itu saya maklum. Mungkin karena ia belum tuntas mempelajari sastra. Bisa karena tidak minat, bisa juga karena cara berpikirnya yang kadung begitu.

Akan tetapi, tak apalah. Saya tak berkeberatan memberinya sedikit penjelasan. Semacam ringkasan saja. Setidaknya yang mudah ia pahami. Meski untuk membuatnya paham mungkin masih sulit juga.

Gara-gara pertanyaan itu ingatan saya terbawa pada tawaran yang diberikan oleh Robert Stanton. Dalam buku yang ia tulis, judulnya Teori Fiksi (judul aslinya; Introduction to Fiction). Stanton mengungkapkan, jika seorang pengarang tidak dapat terlalu berharap agar pembaca karyanya adalah orang yang terlatih secara khusus.

Artinya, tidak semua pembaca karya seorang pengarang itu merupakan orang yang sudah terbiasa mencerna dan mampu memahami apa yang sedang disampaikan sang pengarang itu dalam karya yang ditulisnya. Maka, kajian ataupun penelitian cerita-cerita fiksi itu sangat mungkin menjadi alat bantu bagi pembaca agar dapat memahami hal apa yang sedang disampaikan oleh pengarang lewat karya yang dibacanya itu.

Kajian fiksi, mau tidak mau, suka tidak suka, akan memberi semacam dukungan kepada pembaca agar bisa menyelami cerita-cerita itu. Ia mau menjelaskan dengan pendekatan, teori, dan metode tertentu tentang hal-hal apa saja yang disampaikan pengarang kepada pembaca.

Lalu, apa yang menyebabkan pembaca terkadang sulit mencerna isi cerita fiksi? Stanton menggarisbawahi, salah satu faktornya adalah jarak waktu antara pembaca dengan kapan karya itu ditulis. Faktor ini, oleh Stanton, dikhawatirkan akan membuat pembaca kebingungan menangkap maksud dari cerita itu.

Dengan kata lain, lewat kajian atau penelitian tentang kisah-kisah itu pula, pembaca akan diajak untuk melakukan lawatan sejarah dari karya itu. Ia akan diajak membaca gejala-gejala zaman yang berbeda-beda. Menelusuri peristiwa demi peristiwa yang dihadirkan oleh fiksi.

Agar dicatat pula, dalam sudut pandang Stanton, masih berlaku pembedaan antara fiksi serius dengan fiksi populer. Keduanya, oleh Stanton, dibedakan melalui keterbacaannya.

Karya fiksi dikatakan serius apabila ia dapat dinikmati oleh lintas generasi dan memiliki kemampuan bercerita yang lebih baik. Ia selalu segar karena apa yang disampaikannya menyangkut hal-hal yang sangat relevan dengan kehidupan dan dimengerti oleh pembacanya meski di masa yang berbeda.

Sedang, karya fiksi dikatakan populer karena ia hanya dapat dipahami oleh pembaca yang sezaman. Maka, fiksi populer cenderung akan mudah basi. Sulit dipahami oleh pembaca di masa empat puluh tahun mendatang, sebab perihal yang dikisahkannya sudah tidak lagi relevan alias usang. Hal-hal yang dikisahkan cenderung tidak lazim.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline