Penduduk negeri batik tampaknya memang suka dengan keisengan. Segala yang ingin dilakukannya tidak lain berawal dari ide-ide nyeleneh dan penuh keisengan. Bukan sesuatu yang serius, bukan pula sesuatu yang menguras pikiran. Tetapi, ketika ide itu direalisasikan, mereka melakukannya dengan sangat serius dan amat detil. Tidak main-main.
Begitulah mereka di dalam menjalani hidup. Batik yang menjadi bagian dari denyut kehidupan mereka pun tak cukup bagi mereka hanya dibentangkan pada selembar kain sepanjang 2 meter. Lalu, mereka pun berkehendak membatik apa saja.
Dunia ingin mereka batik. Lalu, muncul pencatatan rekor dunia Guiness. Sepanjang 1.200 meter kain dibentangkan, menjulur sampai melintas di jalanan. Kemudian dibatik oleh ribuan orang pula.
Tidak hanya itu, semesta pun ingin mereka batik. Lalu, muncul angka 1,67 miliyar rupiah---yang pada tahun 70-an angka itu merupakan angka yang fantastis---guna membangun Planetarium.
Tak heran jika UNESCO akhirnya menjadi takluk atas kegigihan rakyat negeri batik. Mereka akhirnya mengakui keunggulan rakyat negeri batik sebagai pemilik sah batik, setelah diuji dengan berbagai macam kriteria yang mereka buat.
Ibarat sebuah sayembara pencak silat, rakyat negeri batik ini adalah pendekar pilih tanding. Bagaimana tidak, lawan mereka bukanlah pendekar biasa. Lawan mereka adalah pendekar besar yang memang memiliki kekuatan yang tidak sebanding dengan pendekar negeri batik.
Sebab, yang mereka lawan itu adalah kekuatan yang bernama negara. Bahkan tidak hanya satu, tetapi ada beberapa. Malaysia, Tiongkok, India, dan beberapa negara lain yang juga ikut rebutan mengaku sebagai pemilik batik itulah lawan pendekar yang satu ini.
Sudah pasti mereka memiliki kekuatan yang lebih besar karena mereka memiliki bala tentara, diplomat-diplomat ulung, modal finansial yang menggunung, juga kekuatan-kekuatan lainnya.
Sementara pendekar sakti yang satu ini hanya sebuah kota kecil, yang luasnya pun hanya 45 kilometer persegi dan dihuni oleh penduduk yang mayoritas bekerja sebagai buruh.
Bahkan, ada juga sebagian yang terpaksa memburuh di mancanegara, seperti Malaysia, Arab Saudi, Hongkong, dan negara-negara lainnya.
Jelas, pendekar negeri batik ini berhadapan dengan lawan yang sangat tak sepadan. Maka, kalaupun kalah, sudah pasti wajar.