"Batik itu ilmu rasa!" demikian ungkap Dudung Alisyahbana dalam sebuah diskusi yang digelar di emper kampus Universitas Pekalongan, malam itu. Mula-mula, salah seorang maestro batik asal Pekalongan ini ogah nimbrung dan urun rembug.
Tetapi, setelah dipaksa, ia segera mengambil tempat duduk di samping saya, lalu mengungkapkan banyak hal tentang batik, jauh melampaui yang saya ketahui.
Berapi-api ia sampaikan beberapa persoalan tentang batik. Diurainya dengan urut. Saya yang duduk di sampingnya hanya terbengong. Melongo!
"Ngomong batik, mestinya tidak sekadar ngomong barang jadi. Ngomong produk. Ngomong benda. Apalagi ngomong soal komoditas. Tidak sebatas itu!" tegasnya.
Lalu, sejenak ia pun mengedarkan pandangannya kepada semua yang hadir. Semua tampak diam. Menunggu kata-kata yang akan segera meluncur.
Penampilan Mas Dudung malam itu begitu menyedot perhatian. Laiknya seorang empu, orang-orang yang hadir menantikan petuahnya. Mereka berharap dapat mencerap ilmu dari sang empu batik ini.
"Jika sampeyan-sampeyan ini memandang batik sekadar sebagai fashion, sebagai benda, maka sampeyan telah menjerumuskan diri pada pemahaman yang keliru. Artinya, sampeyan sudah tidak memiliki rasa kepercayaan diri sebagai sebuah entitas kebangsaan. Sampeyan telah mengerdilkan diri sebagai bangsa maju," lanjutnya.
Ungkapan Mas Dudung kali ini membuat dahi para hadirin kian berkerut, tidak terkecuali saya. Alis mereka seolah-olah tak lagi berjarak antara kiri-kanannya.
Dipersatukan oleh kata-kata Mas Dudung yang benar-benar menyita perhatian. Punggung mereka pun makin membungkuk dan dagu mereka makin lebih maju ke depan dibandingkan hidung mereka. Kini, Mas Dudung benar-benar menjadi pusat gravitasi. Seluruh elemen alam yang ada di hadapannya tersedot seketika. Set!
Dan kata-katanya adalah luncuran energi yang terhimpun dari rasa ingin tahu para hadirin. Kata-kata Mas Dudung tidak lain adalah pancaran energi keingintahuan yang tertumpu pada magnet.
Dengan begitu, apa yang diungkapkan Mas Dudung hanyalah upaya mengembalikan kesadaran pada diri-diri yang hadir untuk kembali bangkit dan bangun dari ketaksadarannya. Semacam titik-titik air kolam yang menciprat karena lontaran batu yang dilempar oleh rasa ingin tahu para hadirin.