Pada sepenggal hari di musim penghujan, saya mengajak anak dan istri jalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan yang cukup besar di Kota Pekalongan. Bukan untuk berbelanja, melainkan sekadar penyegaran. Bhumi dan Radit yang punya hajat. Mereka ingin sekali menikmati aneka wahana permainan di arena bermain yang disediakan di pusat perbelanjaan itu.
Sebelum memutuskan untuk jalan-jalan, saya dan istri sempat berdiskusi. Menimbang-nimbang, apakah keputusan untuk jalan-jalan itu sudah tepat atau malah akan menjadi keputusan yang keliru. Selain itu, kami perlu memperhitungkan pula kemungkinan-kemungkinan lain.
Kesepakatan pun tercapai. Kami pun berangkat beramai-ramai dengan menumpang becak.
Ya, kami sengaja memilih moda transportasi tradisional yang satu ini, sembari mengenang masa kanak-kanak dulu. Juga untuk mengenalkan kepada dua anak kami, Bhumi dan Radit, tentang becak.
Perjalanan dimulai. Wajah kedua anak kami tampak bercahaya. Ini kali pertama mereka menaiki becak. Suara tawa cekikikan mereka tak putus-putusnya di sepanjang jalan. Mungkin mereka merasa ada yang aneh.
Di sisi kiri-kanan jalan, saya perhatikan, orang-orang memperhatikan tingkah kami di atas becak yang dilajukan penarik becak. Mungkin heran, mungkin pula menganggap kami aneh.
Di zaman sekarang kok masih ada orang seperti kami yang mau menumpang becak. Kan boros? Boros waktu, boros duwitnya.
Bolehlah berpandangan demikian. Tapi siang itu, saya dan istri cuma ingin membuat anak-anak kami bergembira. Bisa menaiki becak. Sebuah pengalaman yang barangkali saja sudah sangat langka ditemukan di era kendaraan pribadi bermesin.
Alih-alih tak menggubris tatapan orang-orang di sepanjang perjalanan, saya malah terkesan pada bapak penarik becak yang satu ini.
Saya tidak tahu persis apa yang dirasakannya saat kami tertawa cekikiran. Sementara, ia tengah berdarah-darah memerjuangkan hidupnya.