Lihat ke Halaman Asli

Ribut Achwandi

TERVERIFIKASI

Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Mengenang Mbah Royom Sukarman, Seniman Kethoprak Pekalongan

Diperbarui: 25 September 2021   11:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mbah Royom Sukarman, dok.pribadi.

Suatu siang, setelah beberapa hari mentas kethoprak bareng, Mbah Royom menghubungi saya. Lewat pesan singkat via Whatsapp, beliau menyampaikan jika pintu rumahnya sudah sangat merindukan kehadiran saya. Tawaran itu langsung saya sambut dengan senang hati. Tak menunggu lama, saya segera sempatkan diri untuk bertamu di kediaman beliau.

Ditemani seorang santri, Mas Lana, saya memasuki sebuah kampung yang padat. Rumah-rumah warga rata-rata berukuran kecil. Nyaris tak ada halaman, hanya ada teras rumah. Itu pun tak seberapa luas. Dinding depan rumah penduduk kampung itu rata-rata langsung berbatasan dengan tepian jalan kampung yang tampak baru saja dibeton dan ditinggikan. Maklum, kampung itu juga sudah menjadi langganan rob. Bahkan, alas rumah-rumah warga tampak pula beberapa sudah mulai ditinggikan, sehingga rumah mereka tampak tak terlalu tinggi.

Kampung itu tak jauh dari tempat saya berkantor. Tepatnya, di kawasan belakang kampus Universitas Pekalongan yang megah. Ya, di balik kampus yang memiliki gedung-gedung menjulang ke angkasa itu, ternyata ada kampung yang kondisinya---menurut saya---cukup memrihatinkan. Dan, di situlah Mbah Royom tinggal bersama keluarganya. Di sebuah rumah yang kecil ukurannya---luasnya juga tak seberapa, Mbah Royom tinggal.

Tiba di rumah itu, Mbah Royom menyambut saya dengan sangat ramah. Tidak hanya itu, beliau sangat menghormati tamunya. Ah, saya malah merasa malu sendiri dan tak enak hati. Apalagi, usia beliau yang terpaut jauh dari usia saya. Beliau sudah sepuh. Tetapi, soal etika, beliau jauh lebih baik dari saya. Padahal, beliau tak memiliki riwayat pendidikan yang setinggi langit, dengan ijazah yang bertumpuk-tumpuk. Sementara saya, kadang masih membanggakan ijazah saya.

Di halaman rumah yang berbatasan langsung dengan jalan kampung, beliau membungkukkan badannya di hadapan saya. Itu sebagai sikap hormat beliau kepada tamu. Meski saya meminta agar beliau tidak melakukan itu berkali-kali, tetap saja beliau melakukannya. Beliau selalu saja punya alasan untuk melakukan itu. Beliau singgung soal pekerjaan saya, kesarjanaan saya, dan banyak hal lainnya yang dijadikan alasan mengapa beliau merasa pantas untuk melakukan itu di hadapan saya.

Ah, rasanya saya semakin malu. Saya merasa lebih buruk dari beliau. Tapi, perasaan saya itu sepertinya sia-sia saja untuk saat itu. Sebab, tidak akan mengubah keadaan apapun. Beliau tetap saja begitu di hadapan saya. Akhirnya, saya terpaksa harus menerima perlakuan itu.

Tak lama, saya dituntun beliau memasuki ruang tamu. Tak terlalu besar ukurannya. Bahkan lebih kecil dari ruang tamu rumah saya. Untuk sekadar selonjor saja susah. Mungkin, hanya 2,5 x 2 meter luas ruangan itu. Tetapi, agak tertolong karena langsung terhubung dengan ruang tengah, meskipun luasnya juga tak seberapa. Mungkin sekitar 3 x 3 meter. Bisa dibayangkan, betapa kehidupan Mbah Royom ini begitu sangat sederhana.

Sesiang hingga sore itu, di ruang tamu, kami banyak ngobrol soal kesenian, khususnya seni tradisi Jawa. Saya lebih banyak mendengarkan tuturan beliau, sebab memang saya tidak begitu menguasai kesenian tradisional. 

Maklum, saya lahir dari sebuah keluarga yang tak cukup mengerti soal kesenian. Juga tak cukup paham dan fasih mengenai kebudayaan Jawa. Meskipun, saya lahir dan hidup di tengah-tengah masyarakat Jawa, yang juga dikenal sebagai orang Jawa. Tetapi, kehidupan kami tak cukup memiliki waktu untuk mempelajari budaya Jawa secara penuh. 

Kehidupan masyarakat pesisir yang dinamis telah membangun sebuah sikap dan cara pandang yang sungguh sangat berbeda dari cara pandang orang Jawa, seperti yang dikemukakan Mbah Royom. Juga soal penguasaan bahasa Jawa saya, tidaklah lebih baik dari Mbah Royom. Amat jauh. Bagaikan langit dan bumi. Jika Mbah Royom begitu fasih berbahasa Jawa dan menguasai kesusastraan Jawa, saya sama sekali tidak tahu apa-apa. Dan di hadapan beliau, saya memang masih harus banyak belajar soal itu semua.

Beliau tak sungkan-sungkan mengajari saya. Tentang sastra Jawa, tentang tembang, tentang falsafah hidup orang Jawa, tentang makna-makna simbolik dalam dunia kesenian Jawa, dan semuanya. Ya, saya benar-benar merasa bodoh. Merasa kosong di hadapan beliau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline