Matematika itu bahasa. Kalimat pendek itu meluncur begitu lancar dari kawan saya, seorang pakar matematika yang berkonsentrasi di bidang analisis dan pengukuran.
Namanya, Muhammad Ali Gunawan. Tentu, sebagai seorang yang 'gagal' memahami hakikat matematika, impresi saya kala itu tampak konyol.
Kedua pangkal alis saya memusat, sehingga menampakkan kerutan di sela-sela kedua alis saja akibat dorongan dari kedua sisi alis saya.
Tatapan mata saya pun seketika menjadi semakin terfokus pada wajah kawan saya yang begitu entengnya menyampaikan ungkapan itu.
Ya, kalimat pendek itu seperti magnet. Membuat saya dan segenap perhatian saya tersedot ke dalam pusaran kalimat pendek itu. Tetapi, saya merasa belum cukup mampu menangkap maksud pernyataan itu.
Menyaksikan cara saya merespons, kawan saya tampaknya kurang berkenan. Kemudian, ia pun menyampaikan penjelasan yang cukup panjang.
Katanya, seseorang yang mempelajari ilmu sastra mestinya sudah mafhum persoalan ini.
Seorang yang mengambil studi sastra tentu sudah tuntas dengan permasalahan ilmu bahasa. Dan matematika, sesungguhnya hanya bagian dari sistem bahasa yang disederhanakan.
Sampai di sini, saya masih berusaha mencerna. Pikiran saya mungkin saja masih terbawa ke alam pemikiran kanak-kanak, ketika masih duduk di salah satu bangku sekolah yang dibariskan di dalam kelas.
Ketika itu, tak jarang saya menangkap kesan, seolah-olah di antara guru matematika dan bahasa---baik itu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, maupun bahasa Jawa---menunjukkan sikap yang saling bertolak belakang ketika membicarakan masalah keilmuan.