Pagi-pagi benar kami mesti bangun. Sebelum subuh menetaskan fajar merah di ufuk timur. Mimpi yang menjadi hadiah bagi tubuh lelah semalam kami pun harus segera diringkus. Menjauhkannya dari tubuh kami. Itu sudah menjadi komitmen, bahwa pagi ini tidak ada satu pun yang boleh terlambat bangun. Meski sedetik. Tidak boleh! Kami tak ingin menjadi tuan rumah yang tidak pandai menghormati tamu. Sebab tamu, dalam keyakinan kami, adalah anugerah besar. Tamu, bagi kami, adalah kunci pembuka pintu rezeki. Itu telah tertanam sejak lama. Sudah menjadi kesepakatan bersama.
Dan pagi ini, seorang tamu agung akan datang berkunjung. Seorang pejabat tinggi, katanya. Tetapi, seberapa tinggi jabatannya, kami tak tahu. Hanya Pak Kades dan Pak Carik yang tahu.
"Kalau diumpamakan, itu seperti langit dan bumi, Kang!" kata Pak Kades semalam, saat menemani kami menata segala keperluan. Kata-kata itu membuat kami melongo. Tanpa sadar, dalam waktu bersamaan kami menatap langit, lalu berangsur menunduk.
"Nha, paham?" tanya Pak Kades.
Kami menggeleng pelan. Kemudian menatap wajah Pak Kades. Segera, tangan kiri Pak Kades meraih peci hitam di kepalanya. Menariknya pelan dan meletakkan peci itu di dadanya yang disambut tangan kanannya. Seperti ada beban berat, genggaman tangan Pak Kades berangsur meluncur ke pangkuannya bersama peci hitamnya.
"Ya sudah, kalau nggak paham juga nggak apa-apa. Yang penting malam ini semua keperluan sudah harus beres. Begitu nggih, Bapak-bapak?" kata Pak Kades diselingi helaan napasnya yang dalam.
Kami hanya meng-inggih-kan. Memaklumi pemakluman Pak Kades. Yang artinya, memaklumi kami sendiri. Ya, di kampung ini cuma Pak Kades yang sekolahnya tinggi. Jadi, pasti bisa mengukur ketinggian jabatan tamu yang akan berkunjung di kampung kami.
Kami ingat. Dulu waktu Pak Kades lulus dan diwisuda, kami sekampung ikut berombongan merayakan wisudanya. Naik truk lengkap dengan perbekalan. Pisang, nangka, dan aneka makanan kami bawa serta. Juga ada yang bawa termos untuk wadah minuman.
Sampai di sekolahannya Pak Kades, kepala kami tak henti-hentinya menggeleng-geleng. Bangunan-bangunannya tinggi menjulang. Hampir-hampir menyentuh langit. Bayangan kami kala itu, ketinggian gunung yang biasa kami lihat sehari-hari masih kalah dengan tingginya gedung-gedung itu. Kami takjub dibuatnya.
Kami juga membayangkan, mungkin saja Pak Kades sudah pernah melihat langit dari ketinggian gedung-gedung tempatnya bersekolah. Bahkan, ada yang bercelatuk, Pak Kades pernah berdialog dengan para malaikat.
"Makanya, Pak Kades itu pinter. Lha wong temannya saja malaikat kok!" seloroh Yadi, pemuda kampung yang sehari-harinya menggembala kambing.