Lihat ke Halaman Asli

Ribut Achwandi

TERVERIFIKASI

Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Ketika "Budaya" Hanya Slogan

Diperbarui: 18 September 2021   17:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto: pekalongankota.go.id

Selasa malam jelang dini hari, 14 September 2021, di ruang tamu yang tak begitu luas saya dengar suara mesin sepeda motor berhenti di depan rumah. Dari balik jendela tampak dua orang tengah mengobrol di atas sepeda motor itu. Salah seorang dari mereka menunjuk-nunjuk ke arah rumah. Saya makin awas mengamati.

Sayang, helm yang mereka kenakan membuat wajah mereka tak begitu jelas terlihat. Apalagi cahaya lampu di depan rumah tak begitu terang. Yang tampak hanyalah postur tubuh mereka yang lumayan tinggi dan kekar. Dengan jaket yang mereka kenakan, mereka tampak gagah.

Tak berapa lama, mereka lantas menuju teras rumah. Mengetuk pintu. Segera, saya buka pintu untuk dua tamu dini hari. Dan, begitu terkejutnya saya, ketika salah seorang tamu yang datang malam-malam itu tiba-tiba bicara, "Maaf, Kang, terpaksa malam-malam kami jemput sampean. Ada sesuatu yang mesti kita bicarakan."

Saya tak mengerti maksud kalimat itu. Lalu, saya persilakan dua tamu saya itu masuk. Tetapi, rupanya tawaran saya tak digubris.

"Tidak, Kang. Kami tak bisa bicara di sini. Sampean yang harus ikut kami. Sekarang juga," kata pria berkacamata itu sambil melirik ke arah temannya yang tinggi badannya tak lebih tinggi dari pria kacamata itu.

Sebentar kemudian, saya menahan niat mereka. Kepada mereka saya tanyakan, "Sepenting apa sehingga kalian hendak membawa saya malam-malam begini?"

"Maaf, Kang, kami tak memberi opsi. Hanya kata ya yang ingin kami dengar, lalu segera kita berangkat," kata pria berkacamata itu.

Ya sudah, sepertinya saya tak bisa mengelak. Saya tak ingin terjadi kegaduhan di rumah yang bisa membangunkan anak-anak dan istri saya yang tengah pulas tertidur. Saya turuti kemauan mereka.

Dengan sepeda motor saya ikuti saja arah laju kendaraan mereka. Mula-mula mereka menuntun saya menyusuri jalan protokol yang gelap dan sepi. Maklum, sejak diberlakukan PPKM lampu-lampu penerang jalan dipadamkan. Konon, agar tak terjadi kerumunan warga.

Setelah melewati kira-kira satu kilometer, arah laju kendaraan mereka menuntun laju motor saya menuju sebuah gang. Di sepanjang gang itulah saya temui banyak persimpangan dan kelokan. Jalan-jalan gang yang dipadati rumah warga di sisi kanan-kiri tampak sepi. Seperti kampung mati. Sampai di depan sebuah rumah yang kondisinya tampak seperti tak terawat, kendaraan mereka berhenti. Pria berkacamata itu segera turun dan membuka pintu gerbang setinggi bahu yang juga tampak tak terawat. Sedang, lelaki berjaket dengan perutnya yang agak membuncit menuntun motornya masuk ke halaman rumah. Saya mengikuti di belakang.

Pintu segera ditutup kembali. Kedua tamu yang membawa saya ke rumah aneh itu menyilakan saya masuk. Di ruang tengah, seorang pria berambut panjang dan lurus tampak tengah menanti. Di sela jarinya, saya lihat sebatang rokok masih menyala, menerbangkan asap putih. Rokok itu masih cukup panjang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline