Beberapa waktu yang lalu, saya sempat ngecek komentar-komentar pada akun facebook saya. Saya baca komentar-komentar kawan saya terhadap tulisan-tulisan saya. Dan benar saja, ada salah satu komentar yang menurut saya menarik. Dalam komentar itu ditulis bahwa, 'Semar di negeri kita tidak dianggap dan dicuekin!'. Atas dasar komentar itu imajinasi liar saya pun tergerak untuk mempersoalkan hal itu.
Dalam pikiran saya cuma satu, kalau memang Semar itu kemudian tidak dianggap dan dicuekin di negeri ini maka bukan tidak mungkin Semar and the Gank of Punakawan akan memilih hijrah ke negeri tetangga. Coba sampeyan bayangkan sejenak, kira-kira kalau kemudian Punakawan pindah alamat ke negeri tetangga, akan seperti apa kita coba? Yang pasti, kita cuma bisa marah-marah dan menganggap bahwa negeri tetangga telah menjarah kekayaan budaya yang konon adalah milik kita. Ya to? Atau barangkali kita hanya bisa gigit jari lantaran kita baru menyadari kita telah kehilangan hal penting dalam kehidupan berkebudayaan. Sebab, Semar selalu diidentikkan sebagai ajaran falsafah budaya Jawa yang sarat makna. Semar dalam kisah-kisah klasik pewayangan selalu dikatakan sebagai pengejawantahan keseimbangan antara mikro kosmos dan makro kosmos. Semar selalu dianggap sebagai perwujudan semangat pengabdian rakyat jelata kepada kekuasaan.
Tetapi sekali lagi, saya ingin mengajak sampeyan untuk sejenak merenungkan lagi, kalau seumpamanya Semar dan anak-anaknya kemudian memilih pindah alamat ke negeri jiran, apa yang akan kita lakukan coba? Apa kita akan mati-matian membujuk mereka agar tidak pindah alamat? Ataukah hanya akan kita biarkan begitu saja? Atau kita malah harus merasa bangga karena Punakawan rupanya bisa mendunia, go international?
Ya, dalam banyak hal, negeri kita sudah sering mengalami kehilangan. Bukan kecolongan. Kenapa saya lebih memilih kata kehilangan ketimbang kecolongan? Karena, selama ini mungkin saja kita tidak bisa mengurus dengan baik segala yang sudah kita warisi dari pendahulu. Dalam alam bawah sadar kita, kita selalu menganggap bahwa segala sesuatu yang tidak memiliki kemanfaatan secara ekonomi adalah hal-hal yang tak perlu digunjingkan. Akibatnya kita abai dan cenderung meninggalkannya. Begitu pula dengan Semar, Gareng, Pertuk, dan Bagong yang barangkali saja telah kita lupakan. Karenanya, istilah kecolongan rasa-rasanya kurang tepat untuk digunakan sebab kita belum tersadar untuk memelihara segala sesuatu yang kita abaikan itu.
Ya, barangkali saja Semar dan kroninya (Gareng, Petruk, dan Bagong) sudah merasa bosan hidup di negeri ini. Oleh sebab mereka tidak lagi merasa dibutuhkan dan tidak dipelihara dengan baik. Mereka hanya dijadikan tumbal kekuasaan yang hanya dimanfaatkan sebagai simbol-simbol kemuliaan hidup, sebagai simbol ajaran-ajaran moral. Sementara perilaku para penguasa tidak juga kapok korupnya. Mereka merasa bahwa selama ini apa yang sudah disuarakan oleh mereka tidak lagi didengar. Dan celakanya lagi, ajaran-ajaran moral yang mereka gubah sekarang ini sudah tidak lagi digunakan dalam kurikulum pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi sekalipun. Pendidikan menurut Ki Lurah Semar, sekarang ini sudah minger kiblate karena filsafat Baratlah yang selalu menjadi rujukan.
Cobalah tengok anak-anak sekarang, dari sekian juta yang bersekolah berapa besar jumlah mereka yang tahu tentang filosofi hidup ala Punakawan? Saya yakin, sedikit. Sebab, Punakawan dianggap sebuah ajaran yang terlampau kuno. Dianggap tidak relevan dengan zaman. Padahal, di belahan dunia Barat sana, Punakawan terus menjadi perbincangan hangat. Bukan untuk menghidupkan kembali nostalgi tentang kejayaan Jawa dan membangunkan kembali romantisme masa lalu ketika mereka melakukan sebuah penaklukan dunia, melainkan belajar tentang kebijaksanaan Timur yang tidak ada dalam kamus filsafat Barat. Orang-orang Barat dalam masa postmodern ini tengah merindukan pandangan-pandangan tentang kebijaksanaan, tentang hakikat kamanungsan, tentang segala sesuatu yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh Plato, Aristoteles, Socrates, Hegel, Immanuel Kant, maupun sederet nama filsuf Barat yang hebat-hebat itu. Sebab, ada semacam kebuntuan dalam filsafat Barat yang tidak mampu menjangkau wilayah kebijaksanaan yang sejati. Filsafat Barat selalu berupa pertanyaan-pertanyaan tentang keberadaan. Karenanya, filsafat Barat selalu bermuara pada kegelisahan yang tanpa menemukan samudra kebijaksanaan. Filsafat Barat hanya merupa sebuah rentengan gerbong teori tentang pikiran yang rasional tetapi tidak sepenuhnya realistis.
Itulah kenapa Semar dan anak-anaknya memilih untuk hijrah ke negeri orang. Karena di sana ia lebih merasa terpelihara dan dihargai. Sementara kita, mungkin tinggal gigit jari kalau kejadian itu benar-benar terjadi. Lalu apa kita juga patut marah pada negeri sebelah jika kita kehilangan? Kalau malu mungkin memang sepatutnya kita malu, tetapi jika marah, sepertinya harus kita endapkan dulu emosi kita. Introspeksi diri itu jauh lebih baik ketimbang hanya bisa marah-marah. Bukankah kita sudah membiasakan diri untuk kehilangan ketimbang kecolongan? Ayo kita pikir dan renungkan bareng, lalu kita rumuskan dalam langkah nyata agar kita tidak kehilangan lagi meski sebenarnya kita sudah kehilangan kejawaan kita, atau bahkan kehilangan rasa nasionalisme kita. Tidak perlu mencari siapa yang salah, sebab barangkali kita sudah sama-sama salah alias menjadi anggota jamaah kesalahan bukan jamaah kesalehan. Tak perlu menuding siapa yang mesti bertanggung jawab, sebab semua memiliki peran penting dalam menentukan arah. Ibarat numpang bus kota, kalau kita sebagai rakyat pun tidak tahu arah yang mau dituju, pak sopirnya pun akan kebingungan mengemudikan bus kota itu. Itulah yang selalu dilakukan Semar dan anak-anaknya terhadap Pandawa, mengingatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H